Ketika Ahli Arkeologi Singkap Pluralisme Prasejarah Nusantara

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 21 Agustus 2015 | 21:00 WIB
Selain fosil Stegodon, para arkeolog Pusat Arkeologi Nasional juga menemukan artefak prasejarah berupa bola-bola batu. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Baca juga: Manusia Prasejarah Bunuh Anjing Mereka Agar Bisa Bersama di Akhirat

Truman Simanjuntak, berbusana lengan panjang, sedang beramah tamah dengan warga Sangiran. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

 

Kegandrungan Truman dalam dunia arkeologi bukan kebetulan. Dia mengenang, keinginan itu bertumbuh sejak dia duduk di Sekolah Rakyat. Gurunya pernah berkisah tentang kemegahan Borobudur dan berwasiat kepada murid-muridnya bahwa bila mereka rajin belajar, pasti mereka akan sampai ke candi itu. Bagi Truman, pernyataan sederhana itu teringiang-ngiang terus dalam pikirannya. “Artinya apa,” kata Truman retorik, “kita membutuhkan guru yang inspiring di sekolah!”

Modal utama untuk tertarik arkeologi atau sejarah, demikian hemat Truman, adalah passion atau minat atau kegemaran untuk mengetahui sesuatu. Namun, bagi yang tidak punya kegemaran dalam bidang tersebut, passion dapat ditumbuhkan lewat pendidikan, ungkapnya.

SAYA MENGENAL TRUMAN dari dekat sekitar tiga tahun silam. Ketika itu saya mendapat penugasan National Geographic Indonesia ke Gua Harimau di Baturaja, Sumatra Selatan. Truman dan timnya tengah melanjutkan penelitian menyingkap gua yang mengekalkan gambar cadas dan kompleks permakaman purba terlangka di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Gua ini spektakuler karena menyimpan gambar cadas pertama yang ditemukan di Sumatra. Kisah feature itu terbit dalam edisi Januari 2013, berjudul “Tapak Jejak Pitarah Sumatra”.

Ketika itu Truman bersama timnya telah menemukan 66 kerangka individu. Namun, kini, mereka sudah menemukan 80 kerangka individu.

Di pondokan, yang lokasinya tak jauh dari Sungai Ogan, kami selalu sarapan bersama sebelum berangkat ke gua. Truman kerap membuka percakapan tentang kemajuan penelitian yang dicapai timnya. Setahu saya, dia memang sosok yang serius—apalagi bergelar profesor riset. Namun, dalam kehidupan bersama dalam satu pondokan, saya menemukan sosoknya yang humoris dengan kelakarnya yang mencairkan kebekuan pagi.

Di lokasi ekskavasi pun Truman menjelaskan segala sesuatunya dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam, lengkap dengan ekspresi khasnya. Belakangan saya tahu, kelugasannya dalam memaparkan temuan penelitian ini lantaran dirinya juga berpengalaman menulis dengan gaya populer di media massa. Barangkali, tidak semua peneliti mempunyai keterampilan ini.

Singkat kata, meskipun kami berada di tengah hutan, Truman dan timnya telah membuat jurnalis seperti saya seolah berada di pekarangan rumah sendiri.

Di situs keramat warisan dunia, Sangiran, Jawa Tengah, saya berkesempatan menyaksikan fosil kranium dari stegodon dan kerbau purba yang baru saja ditampakkan lewat ekskavasi oleh Truman dan timnya. Ketika itu saya mendapat penugasan dari National Geographic Traveler untuk kisah feature “Melintasi Sangkala di Cekungan Purba”, terbit November 2013.

Arkeolog senior Truman Simanjuntak (bertopi hitam) dan Geolog senior Awang Harun Satyana (bertopi putih) bersama staf Museum Sangiran sedang mengobservasi potensi penelitian arkeologi baru di sekitar kawasan Sangiran. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Dalam sebuah kesempatan, kami menghabiskan sehari penuh mengobservasi Sangiran dan menjumpai warganya. Saya kagum menyaksikan Truman sebagai sosok yang menjalin kelindan dengan warga setempat. Kendati dia lahir dan tumbuh dalam adat Pematangsiantar, lelaki itu ternyata fasih berbahasa Jawa halus. Bahkan, warga setempat masih mengenal nama dan sosoknya.