Ketika Ahli Arkeologi Singkap Pluralisme Prasejarah Nusantara

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 21 Agustus 2015 | 21:00 WIB
Selain fosil Stegodon, para arkeolog Pusat Arkeologi Nasional juga menemukan artefak prasejarah berupa bola-bola batu. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Truman Simanjuntak berangkat menuju Gua Harimau, membelah jalan setapak di perbukitan karst Baturaja. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)
 

Tatkala jumpa pers usai menerima Sarwono Award, Truman mengungkapkan kembali orasi ilmiah tersebut. Pada kenyataannya memang pluralisme telah mewarnai Indonesia. Bahkan, kata Truman, pluralisme itu ada sejak masa kehidupan penutur Austronesia—kita mengenalnya sebagai leluhur kita—yang menghuni Nusantara sekitar 4.000 tahun yang lalu. “Sejak manusia tertua menghuni Jawa, pluralitas sudah terlihat,” ujarnya, “baik dalam bentuk fisik manusianya maupun dalam bentuk budayanya.”

Nusantara memiliki kebudayaan yang sangat beragam di setiap daerah, kendati kawasan itu juga memiliki kebudayaan umum yang merupakan kebudayaan dasar—Truman menyebutnya sebagai neolitic package.  

Para penutur Austronesia itu membawa budaya ke Nusantara. Lantaran evolusi lokal dan masuknya pengaruh luar yang berbeda di setiap bagian nusantara, perkembangan budaya itu melahirkan kekhasan lokal. Truman mencontohkan, kebinekaan itu muncul dalam unsur-unsur budaya—corak tembikar, pembuatan kain dari kulit kayu, ragam mata panah. “Fakto-faktor yang memengaruhi kebinekaan itu ada semua di sini,” ujarnya, “mulai lingkungan sampai keletakan geografisnya, maupun kondisi geografisnya.”

Selain kebinekaan dalam kebudayaan, Nusantara juga memiliki kebinekaan untuk kelompok manusia yang menghuninya karena pengaruh adaptasi lokal. Penutur Austronesia awal telah beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda-beda, hingga menciptakan tampilan manusia yang berbeda dan budaya berbeda. “Misal nutrisi yang berbeda di setiap tempat yang menimbulkan kekhasan,” ujar Truman. “Ini yang disebut etnogenesis Indonesia.”

Baca juga: Manusia Prasejarah Bunuh Anjing Mereka Agar Bisa Bersama di Akhirat

Truman Simanjuntak, berbusana lengan panjang, sedang beramah tamah dengan warga Sangiran. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

 

Kegandrungan Truman dalam dunia arkeologi bukan kebetulan. Dia mengenang, keinginan itu bertumbuh sejak dia duduk di Sekolah Rakyat. Gurunya pernah berkisah tentang kemegahan Borobudur dan berwasiat kepada murid-muridnya bahwa bila mereka rajin belajar, pasti mereka akan sampai ke candi itu. Bagi Truman, pernyataan sederhana itu teringiang-ngiang terus dalam pikirannya. “Artinya apa,” kata Truman retorik, “kita membutuhkan guru yang inspiring di sekolah!”

Modal utama untuk tertarik arkeologi atau sejarah, demikian hemat Truman, adalah passion atau minat atau kegemaran untuk mengetahui sesuatu. Namun, bagi yang tidak punya kegemaran dalam bidang tersebut, passion dapat ditumbuhkan lewat pendidikan, ungkapnya.

SAYA MENGENAL TRUMAN dari dekat sekitar tiga tahun silam. Ketika itu saya mendapat penugasan National Geographic Indonesia ke Gua Harimau di Baturaja, Sumatra Selatan. Truman dan timnya tengah melanjutkan penelitian menyingkap gua yang mengekalkan gambar cadas dan kompleks permakaman purba terlangka di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Gua ini spektakuler karena menyimpan gambar cadas pertama yang ditemukan di Sumatra. Kisah feature itu terbit dalam edisi Januari 2013, berjudul “Tapak Jejak Pitarah Sumatra”.

Ketika itu Truman bersama timnya telah menemukan 66 kerangka individu. Namun, kini, mereka sudah menemukan 80 kerangka individu.

Di pondokan, yang lokasinya tak jauh dari Sungai Ogan, kami selalu sarapan bersama sebelum berangkat ke gua. Truman kerap membuka percakapan tentang kemajuan penelitian yang dicapai timnya. Setahu saya, dia memang sosok yang serius—apalagi bergelar profesor riset. Namun, dalam kehidupan bersama dalam satu pondokan, saya menemukan sosoknya yang humoris dengan kelakarnya yang mencairkan kebekuan pagi.

Di lokasi ekskavasi pun Truman menjelaskan segala sesuatunya dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam, lengkap dengan ekspresi khasnya. Belakangan saya tahu, kelugasannya dalam memaparkan temuan penelitian ini lantaran dirinya juga berpengalaman menulis dengan gaya populer di media massa. Barangkali, tidak semua peneliti mempunyai keterampilan ini.

Singkat kata, meskipun kami berada di tengah hutan, Truman dan timnya telah membuat jurnalis seperti saya seolah berada di pekarangan rumah sendiri.

Di situs keramat warisan dunia, Sangiran, Jawa Tengah, saya berkesempatan menyaksikan fosil kranium dari stegodon dan kerbau purba yang baru saja ditampakkan lewat ekskavasi oleh Truman dan timnya. Ketika itu saya mendapat penugasan dari National Geographic Traveler untuk kisah feature “Melintasi Sangkala di Cekungan Purba”, terbit November 2013.

Arkeolog senior Truman Simanjuntak (bertopi hitam) dan Geolog senior Awang Harun Satyana (bertopi putih) bersama staf Museum Sangiran sedang mengobservasi potensi penelitian arkeologi baru di sekitar kawasan Sangiran. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Dalam sebuah kesempatan, kami menghabiskan sehari penuh mengobservasi Sangiran dan menjumpai warganya. Saya kagum menyaksikan Truman sebagai sosok yang menjalin kelindan dengan warga setempat. Kendati dia lahir dan tumbuh dalam adat Pematangsiantar, lelaki itu ternyata fasih berbahasa Jawa halus. Bahkan, warga setempat masih mengenal nama dan sosoknya.

Truman memang sudah berulang kali mendatangi situs warisan dunia itu. Tampaknya, kemampuan berbahasa Jawanya terasah sejak semasa kuliah di Universitas Gadjah Mada dan bekerja di Balai Arkeologi Yogyakarta. Dia bermukim di kota itu sekitar 1973 hingga 1986, sebelum akhirnya dia melanjutkan kuliah master dan doktornya di Paris, Prancis.

TRUMAN BERHARAP PEMERINTAH memerhatikan tentang pentingnya penelitian dan mendesaknya kebutuhan sumber daya peneliti. Dia berkeluh kesah soal dana penelitian yang kecil. Sejatinya, Truman pernah mengatakan hal ini kepada saya ketika ekskavasi di Gua Harimau dan Sangiran. Betapa setiap tahun, timnya terkendala waktu penelitian yang hanya dua hingga tiga minggu—yang idealnya bulanan. Menurut hematnya, sudah sepantasnya pemerintah memberikan semacam kompetisi antarpeneliti untuk membuat proposal penelitian yang cemerlang. Proposal yang memenuhi kriteria akan mendapatkan pendanaan.

Kini, dia prihatin dengan minimnya sumber daya peneliti di lembaganya. Berbeda dengan LIPI yang tahun-tahun silam masih mendapatkan peneliti baru, ungkapnya, Pusat Arkeologi Nasional sudah beberapa tahun terakhir tidak mendapatkan peneliti baru. Seharusnya, setiap tahun harus ada rekrutmen peneliti baru supaya ada pembinaan berlapis. Truman berharap kepada pemerintah seyogianya jangan menyamaratakan moratorium pegawai karena “penelitian harus terus berjalan.”

“Kalau sekarang kita betul-betul moratorium,” ujarnya. “Jadi ada keterputusan antara peneliti dengan jam tinggi dan jam terbang menengah.” Kemudian dia melanjutkan, “Negara tanpa penelitian akan hancur atau mati. Tidak ada kemajuan. Karena lewat penelitianlah ada ide-ide baru kemajuan pengetahuan.”

Truman menerima penghargaan Sarwono Award tepat satu minggu sebelum hari ulang tahunnya. Tampaknya, penghargaan itu merupakan bingkisan semesta alam yang turut merayakan gempita hari jadinya yang ke-64.

(Artikel ini pernah terbit di laman National Geographic Indonesia pada Agustus 2015)