Bertemu <i>Macaca Maura</i>, Satwa Endemik di Taman Nasional Bantimurung Bulusarauang

By , Kamis, 26 November 2015 | 18:00 WIB

Selain dikenal sebagai kerajaan kupu-kupu (The Kingdom of Butterfly), Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Berdasarkan data Balai taman nasional, sampai dengan tahun 2008 telah teridentifikasi sebanyak 356 spesies satwa liar yang hidup di taman nasional.

Saya sangat beruntung karena mendapat kesempatan untuk melihat dari dekat “kera hitam” atau dalam bahasa latin Macaca Maura yang hidup di dalam kawasan taman nasional ini.

Didampingi teman seperjalanan, Saiful Bahri, Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) pada taman nasional, kami menuju ke Karaenta, sekitar  25 km dari kantor balai. Perjalanan kami memakan waktu sekitar 35 menit, menelusuri jalan lintas propinsi yang membelah kawasan taman nasional dan menghubungkan Kota Makasar ke Kota Palu, Sulawesi Tengah.

 Jalan yang berkelok-kelok, menanjak, dan melintasi kawasan bukit bebatuan atau yang lazim disebut karst dengan tebing jurang yang dalam, menuntut kehati-hatian dan kewaspadaan yang tinggi dari para pengendara. Sampai di Karaenta, kami singgah di rumah Pak Haro, pegawai taman nasional, yang memiliki keahlian memanggil kawanan kera hitam.

Namun sayangnya Pak Haro sudah berangkat untuk melakukan patroli hutan. Beruntung, Hendra, putra Pak Haro, yang mewarisi keahlian sang ayah berada di rumah. Maka siang itu pun, kami ditemani Hendra masuk ke dalam taman nasional. Menaiki perbukitan karst, tak jauh dari kami memarkir mobil, sekitar 100 meter dari tepi jalan, sampailah kami di suatu tempat. Disinilah  Hendra memanggil kera-kera yang ada di dalam hutan agar mendekat kepada kami.!break!

Berbekal jagung pipil, Hendra mulai memanggil Maura, sambil menebarkan jagung ke lantai hutan. Sedangkan Saya dan Saiful terdiam menunggu saat-saat yang menakjubkan datang. Perlu bertahun-tahun bagi Hendra untuk dapat menirukan suara sang pemimpin kera. Suara yang ditirukan adalah suara panggilan pemimpin kera kepada anggota kelompoknya.

Tak  harus menunggu lama, suara gaduh mulai terdengar dan mendadak di depan kami sudah berdatangan sekawanan kera hitam, mulai dari yang berbadan besar sampai yang masih bayi dalam gendongan induknya. Kera-kera ini berbulu kecokelatan dan ada juga yang kehitaman, tidak berekor, dengan tinggi rata-rata 50 cm. Jenis kera ini pada bagian pantatnya tidak berbulu, namun diselimuti kulit berwarna merah jambu.

Beberapa kera, tampak bagian berwarna merah jambu ini membesar menyerupai buah jambu biji. Ternyata mereka adalah kera betina. Pada kera betina, warna merah jambu ini lebih tajam saat hamil dan biasanya bagian ini akan membesar. Kera hitam ini merupakan binatang diurnal, atau aktif pada siang hari. Pada malam hari, kera-kera ini beristirahat di dahan-dahan pohon. Buah-buahan, pucuk daun, biji-bijian, kuncup bunga adalah sebagian dari makanannya.

Hendra pun terus menabur jagung, memancing kawanan kera untuk lebih mendekat kami. Satu persatu dengan penuh kewaspadaan, kera-kera mulai memunguti dan memakan jagung.  Dari gerak-geriknya, tampak sekali, mereka sangat hati-hati kepada orang asing. Namun hal ini tak berlangsung lama, saat kawanan kera merasa nyaman dengan keberadaan kami, mereka mulai menyibukkan diri dengan jagung yang ada di lantai hutan.!break!

Adalah “Jaya”, kera terbesar yang ada dalam kawanan kera. Menurut penuturan Hendra, Jaya, sebelumnya adalah pemimpin kelompok kera. Namun kemudian kepemimpinannya tergantikan oleh kera lain yang mengalahkannya saat bertarung. Ya..kelompok kera hitam ini, lazim dipimpin oleh seekor kera yang paling perkasa, yang bertugas untuk memberikan komando terhadap segala aktivitas yang dilakukan oleh kelompoknya. Dalam satu kelompok, biasanya terdiri dari 20 sampai dengan 25 ekor kera.

Macaca Maura (Tri Winarni)