Bertemu <i>Macaca Maura</i>, Satwa Endemik di Taman Nasional Bantimurung Bulusarauang

By , Kamis, 26 November 2015 | 18:00 WIB

“Lihat, bagian leher kera-kera ini akan membesar menyerupai tembolok pada burung. Jagung yang mereka makan, tidak akan langsung ditelan namun disimpan dikantung pada bagian lehernya,” ujar Hendra. Saya pun mulai memperhatikan leher kera-kera ini, dan memang benar, bagian leher mereka membesar, karena menyimpan jagung yang mereka santap.

Saat sedang asyik memakan jagung, mendadak kera-kera lari bersembunyi. Rupanya seseorang datang dan ternyata Pak Haro. Ketika tahu bahwa orang yang datang adalah Pak Haro, kera-kera inipun kembali sibuk memunguti jagung yang masih banyak tersebar di lantai hutan. Kamipun larut dalam perbincangan dengan Pak Haro, sambil mengamati tingkah laku para kera.

“Sudah sejak tahun 1980an saya mulai bersahabat dengan kera-kera disini. Tidak mudah untuk menirukan suara kera. Perlu waktu bertahun-tahun sampai akhirnya saya berhasil menirukannya. Itupun baru sebatas tiruan suara sang pemimpin kera saat memanggil anggota kelompoknya,” ujar Pak Haro.

Menurut penuturan Pak Haro, ada sekitar tujuh kelompok kera yang berada di sekitar pinggir jalan raya. Kelompok lainnya berada di dalam hutan. Satu kelompok kera memiliki daerah tetitori sekitar 25 hektar. Kelompok kera yang berada di Karaenta merupakan kelompok yang paling sering dijumpai Pak Haro, tak heran kera-kera ini seperti sudah memiliki ikatan batin dengan Pak Haro dan Pak Haro sangat hafal ciri-ciri masing-masing kera. Bahkan hampir semua kera dalam kelompok ini diberi nama, seperti Jaya, Hendra dan lain sebagainya. Pemberian nama ini bermanfaat bagi Pak Haro dalam mengamati perkembangan mereka.

“Hal yang tersulit adalah ketika salah satu kera hilang. Sulit untuk mengetahui penyebabnya. Apakah karena mati secara alami, berpindah ke kelompok lain, atau karena sebab lain,”cerita Pak Haro. “Kelompok kera yang hidupnya tak jauh dari tepi jalan menghadapi masalah saat mereka menyeberang jalan. Lalu lintas yang ramai sering menyebabkan kera mati tertabrak saat berusaha untuk menyeberang,’ lanjut Pak Haro.!break!

Sebagaimana dijelaskan Pak Haro, kelompok kera kadang keluar dari daerah teritori mereka, dan memaksa mereka menyeberang jalan, untuk mencari makanan dan minuman. Hal ini juga terjadi saat suhu di dalam hutan terlalu panas terutama pada musim kemarau. Masalah lain yang dihadapi oleh kera hitam di taman nasional ini adalah semakin berkurangnya jumlah pohon “draconto melon” yang menjadi salah satu makanan mereka.

Menurunnya jumlah pohon ini, sebagaimana dijelaskan Pak Haro, disebabkan oleh invasi tanaman dari jenis Spathodea campanulata. Tanaman ini pada awal 1970-an diperkenalkan sebagai batas kawasan. Namun dalam perkembangannya, jenis tanaman ini menjadi invasif sehingga mematikan tanaman lain. Jika kondisi ini terus berlangsung, dikhawatirkan jumlah kera hitam di taman nasional akan menurun.

Sayangnya, sampai saat ini masih belum ditemukan cara untuk menekan pertumbuhan tanaman pengganggu ini, karena jumlahnya yang sangat banyak dan tersebar di kawasan taman nasional. Namun terlepas dari itu, kajian lebih mendalam tentang kolerasi antara Spathodea campanulata dengan ketersediaan pakan kera dan populasi kera merupakan suatu kebutuhan. Hasil kajian ini akan membantu mengarahkan pada suatu alternatif solusi yang tepat.

Sebagai orang yang paling dekat dengan kawanan kera, Pak Haro tidak menghendaki kera-kera ini terlalu sering dipanggil, apalagi diberi makan yang bukan makanannya seperti permen, kue, kacang dan lain sebagainya.

 “Biarkanlah kera-kera ini hidup secara alami. Pemberian makanan sebagaimana halnya dilakukan di beberapa tempat, akan mengubah tingkah laku mereka. Saya khawatir mereka nantinya akan tergantung kepada pemberian manusia. Saya tidak mau hal serupa terjadi dengan kera-kera di hutan ini,”. Suatu harapan yang amat mulia dari seorang Pak Haro.