Sejak dulu Pelabuhan Tanjung Ringgit sudah memegang peranan penting bagi masyarakat Kota Palopo.Selain berfungsi sebagai mangkuk ekonomi rakyat, Pelabuhan Tanjung Ringgit juga membagikan pesona keindahan alam untuk masyarakat di sekitarnya. Hamparan pesisir pantai Teluk Bone yang dikelilingi pegunungan dan suasana pemukiman penduduk di sekitarnya memberikan ketenangan hati yang tiada duanya. Tempat ini memberi ruang yang cukup luas untuk menghayati hidup dalam diam sambil menikmati hempasan ombak. Tak heran, banyak wisatawan yang jatuh cinta pada keindahan dan kedamaian Pelabuhan Tanjung Ringgit.
Pelabuhan inidibangun tahun 1920 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada awalnya, tempat ini hanya berupa dermaga kecil yang digunakan nelayan setempat dan nelayan dari beberapa pulau sekitarnya sebagai jalur penghubung. Dermaga ini hanya bisa disinggahi oleh kapal-kapal kecil yang mendukung jalur perdagangan dan mobilitas penumpang dengan pelabuhan-pelabuhan lainnya, seperti Pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar dan Pelabuhan Nunukan di Kalimantan.
Seiring waktu dan perkembangan zaman, Pelabuhan Tanjung Ringgit makin berbenah dan diperbesar. Perbaikan dan penambahan beberapa fasilitas penunjang mulai dilakukan. Kantor dibangun, begitu pula jalan raya beraspal menuju ke dermaga pelabuhan dan tempat karantina hewan. Kapal-kapal mulai banyak berdatangan dan merapat. Di waktu-waktu tertentu juga ada kapal-kapal pesiar merapat, membawa pelancong mancanegara yang ingin melanjutkan perjalanan darat ke Tana Toraja.
Letaknya yang sangat strategis karena berada di dalam kota Palopo membuat pelabuhan ini mudah dijangkau. Aktivitas pengangkutan barang dan penumpang dari dan ke pelabuhan bisa dilakukan melalui perjalanan darat.!break!
Meski begitu, bukan berarti Pelabuhan Tanjung Ringgit sudah terbebas dari berbagai kendala. Masih ada berbagai tantangan yang harus dihadapi. Misalnya infrastruktur yang masih perlu ditingkatkan, fasilitas yang perlu ditambah, kemacetan arus barang, kedalaman yang kurang dan pengelolaan administrasi yang belum maksimal. Fluktuasi volume pengangkutan juga mengalami pasang surut. Sampai saat ini, karena kedalaman pelabuhan yang kurang memadai maka kapal-kapal bertonase besar belum bisa bersandar. Kalaupun dipaksakan, kemungkinan kapal akan kandas.
Walaupun demikian kondisi tersebut tidak mengurangi antusiasme aktivitas bongkar muat barang maupun penumpang di pelabuhan ini. Hasil pertanian, perkebunan, ternak dan hasil laut menjadi komoditi yang paling sering terlihat diperdagangkan. Tentu saja dari semua itu, beras masih menjadi primadona.
Sebagaimana pelabuhan pada umumnya, di area Pelabuhan Tanjung Ringgit pun terjadi hiruk pikuk perahu nelayan berbagai ukuran dan terdapat tempat pelelangan ikan. Kalau dulu para nelayan marak menggunakan perahu yang biasa disebut Ketinting sebagai alat transportasi, sekarang banyak yang beralih menggunakan perahu yang ukurannya lebih kecil mirip ukuran kano. Perahu ini daya tampungnya lebih sedikit dan lebih rentan terhadap ombak. Biasanya di pagi hari para nelayan baru tiba membawa hasil tangkapannya yang masih segar dan segera meramaikan tempat pelelangan. Di sore hari, pelabuhan ini diramaikan oleh pengunjung yang datang untuk memancing, berfoto bersama atau hanya sekedar duduk-duduk menikmati suasana.
Di waktu lampau, Palopo adalah bagian penting dari sebuah peradaban tingkat tinggi yang berakar dari kebesaran Kerajaan Luwu. Di sinilah tempat lahirnya karya sastra epik berjudul I La Galigo, yang ditasbihkan oleh sejarawan sebagai karya sastra dengan naskah terpanjang di dunia, mengalahkan panjangnya kisah Mahabarata dari India. Masih ada perdebatan panjang tentang kapan sebenarnya epos ini dibuat.Namun sayang dengan alasan menyelamatkan karya sastra berperadaban tinggi ini, beberapa kumpulan naskah I La Galigo justru berada di Perpustakaan Universitas Negeri di Leiden, Belanda.!break!
Epik mitologi yang diakui oleh UNESCO ini bukan sekedar rangkaian cerita biasa yang dituturkan dari mulut ke mulut tapi sejatinya adalah urat nadi keberadaan dan jati diri orang-orang Luwu. Meskipun terdapat berbagai versi cerita yang dituturkan diberbagai tempat dan waktu yang berbeda, bagaimana pun, Epos I La Galigo adalah milik orang Luwu. Itu berarti milik orang Palopo juga karena tilas sejarah keberadaan Palopo tidak bisa dilepaskan dari Luwu. Keduanya seperti dua sisi mata uang. Sentral cerita Epos I La Galigo adalah kisah tentang Luwu yang diperankan oleh Raja-raja Luwu dan ditulis dalam bahasa Luwu. Mereka percaya bahwa Luwu adalah Tanah Orang Langit, tempat bertahtanya Batara Guru Sang Manusia Pertama.
Jauh sebelum Hindia Belanda menancapkan kekuasaannya, Luwu adalah sebuah kerajaan tertua di Sulawesi yang amat luas wilayah kekuasaannya yang antara lain sampai ke Tana Toraja (Sulawesi Selatan), Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah).
Namun setelah Pasukan Hindia Belanda berhasil mematahkan perlawanan pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Andi Tadda pada tahun 1905, di Kerajaan Luwu akhirnya terdapat dualisme pemerintahan dan diperkecil area kekuasaannya. Banyak wilayah sengaja dipisah sehingga yang tersisa hanya lima onder afdeling saja. Salah satunya onder afdeling Palopo. Saat dikuasai oleh Pemerintah Jepang pun kondisinya sama saja. Sang Raja yang bergelar “Datu” Kerajaan Luwu diberi kebebasan menjalankan pemerintahan sipil tapi diawasi sangat ketat oleh pemerintah militer Jepang.
Seiring waktu Kerajaan Luwu akhirnya bermetamorfosis menjadi Kabupaten Luwu dengan Palopo sebagai ibukotanya. Lalu berdasarkan Peraturan Pemerintah tahun 1986 Palopo berubah menjadi Kota Administratif. Namun sejak tahun 2002 Kotif Palopo meningkat statusnya menjadi Daerah Otonom Kota Palopo dan berpisah dari induknya Kabupaten Luwu.
Kota Palopo dan Kabupaten Luwu keduanya masuk dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Dari Makassar ibukota Propinsi Sulawesi Selatan menuju Kota Palopo membentang jarak sekitar 362 km, dengan moda transportasi umum yang marak digunakan adalah bus antar kota dan mobil panther yang bisa ditemui di Terminal Bus Daya Makassar.!break!