Pesona Tanjung Ringgit di Tanah Orang Langit

By , Minggu, 6 Desember 2015 | 07:00 WIB

Sejak dulu Pelabuhan Tanjung Ringgit sudah memegang peranan penting bagi masyarakat Kota Palopo.Selain berfungsi sebagai mangkuk ekonomi rakyat, Pelabuhan Tanjung Ringgit juga membagikan pesona keindahan alam untuk masyarakat di sekitarnya. Hamparan pesisir pantai Teluk Bone yang dikelilingi pegunungan dan suasana pemukiman penduduk di sekitarnya memberikan ketenangan hati yang tiada duanya. Tempat ini memberi ruang yang cukup luas untuk menghayati hidup dalam diam sambil menikmati hempasan ombak. Tak heran, banyak wisatawan yang jatuh cinta pada keindahan dan kedamaian  Pelabuhan Tanjung Ringgit.

Pelabuhan inidibangun tahun 1920 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada awalnya, tempat ini hanya berupa dermaga kecil yang digunakan nelayan setempat dan nelayan dari beberapa pulau sekitarnya sebagai jalur penghubung.  Dermaga ini hanya bisa disinggahi oleh kapal-kapal kecil yang mendukung jalur perdagangan dan mobilitas penumpang dengan pelabuhan-pelabuhan lainnya, seperti Pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar dan Pelabuhan Nunukan di Kalimantan.

Seiring waktu dan perkembangan zaman, Pelabuhan Tanjung Ringgit makin berbenah dan diperbesar. Perbaikan dan penambahan beberapa fasilitas penunjang mulai dilakukan. Kantor dibangun, begitu pula jalan raya beraspal menuju ke dermaga pelabuhan dan tempat karantina hewan. Kapal-kapal mulai banyak berdatangan dan merapat. Di waktu-waktu tertentu juga ada kapal-kapal pesiar merapat, membawa pelancong mancanegara yang ingin melanjutkan perjalanan darat ke Tana Toraja.

Letaknya yang sangat strategis karena berada di dalam kota Palopo membuat  pelabuhan ini mudah dijangkau. Aktivitas pengangkutan barang dan penumpang dari dan ke pelabuhan bisa dilakukan melalui perjalanan darat.!break!

Meski begitu, bukan berarti Pelabuhan Tanjung Ringgit sudah terbebas dari berbagai kendala. Masih ada berbagai tantangan yang harus dihadapi. Misalnya infrastruktur yang masih perlu ditingkatkan, fasilitas yang perlu ditambah, kemacetan arus barang, kedalaman yang kurang dan pengelolaan administrasi yang belum maksimal. Fluktuasi volume pengangkutan juga mengalami pasang surut. Sampai saat ini,  karena kedalaman pelabuhan yang kurang memadai maka kapal-kapal bertonase besar belum bisa bersandar. Kalaupun dipaksakan, kemungkinan kapal akan kandas.

Walaupun demikian kondisi tersebut tidak mengurangi antusiasme aktivitas bongkar muat barang maupun penumpang di pelabuhan ini. Hasil pertanian, perkebunan, ternak dan hasil laut menjadi komoditi yang paling sering terlihat diperdagangkan. Tentu saja dari semua itu, beras masih menjadi primadona.

Sebagaimana pelabuhan pada umumnya, di area Pelabuhan Tanjung Ringgit pun terjadi hiruk pikuk perahu nelayan berbagai ukuran dan terdapat tempat pelelangan ikan. Kalau dulu para nelayan marak menggunakan perahu yang biasa disebut Ketinting sebagai alat transportasi, sekarang banyak yang beralih menggunakan perahu yang ukurannya lebih kecil mirip ukuran kano. Perahu ini daya tampungnya lebih sedikit dan lebih rentan terhadap ombak. Biasanya di pagi hari para nelayan baru tiba membawa hasil tangkapannya yang masih segar dan segera meramaikan tempat pelelangan. Di sore hari, pelabuhan ini diramaikan oleh pengunjung yang datang untuk memancing, berfoto bersama atau hanya sekedar duduk-duduk menikmati suasana.

Di waktu lampau, Palopo adalah bagian penting dari sebuah peradaban tingkat tinggi yang berakar dari kebesaran Kerajaan Luwu. Di sinilah tempat lahirnya karya sastra epik berjudul I La Galigo, yang ditasbihkan oleh sejarawan sebagai karya sastra dengan naskah terpanjang di dunia, mengalahkan panjangnya kisah Mahabarata dari India. Masih ada perdebatan panjang tentang kapan sebenarnya epos ini dibuat.Namun sayang dengan alasan menyelamatkan karya sastra berperadaban tinggi ini, beberapa kumpulan naskah I La Galigo justru berada di Perpustakaan Universitas Negeri di Leiden, Belanda.!break!

Epik mitologi yang diakui oleh UNESCO ini bukan sekedar rangkaian cerita biasa yang dituturkan dari mulut ke mulut tapi sejatinya adalah urat nadi keberadaan dan jati diri orang-orang Luwu. Meskipun terdapat berbagai versi cerita yang dituturkan diberbagai tempat dan waktu yang berbeda, bagaimana pun, Epos I La Galigo adalah milik orang Luwu. Itu berarti milik orang Palopo juga karena tilas sejarah keberadaan Palopo tidak bisa dilepaskan dari Luwu. Keduanya seperti dua sisi mata uang. Sentral cerita Epos I La Galigo adalah kisah tentang Luwu yang diperankan oleh Raja-raja Luwu dan ditulis dalam bahasa Luwu. Mereka percaya bahwa Luwu adalah Tanah Orang Langit, tempat bertahtanya Batara Guru Sang Manusia Pertama.

Jauh sebelum Hindia Belanda menancapkan kekuasaannya, Luwu adalah sebuah kerajaan tertua di Sulawesi yang amat luas wilayah kekuasaannya yang antara lain sampai ke Tana Toraja (Sulawesi Selatan), Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah).

Namun setelah Pasukan Hindia Belanda berhasil mematahkan perlawanan pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Andi Tadda pada tahun 1905, di Kerajaan Luwu akhirnya terdapat dualisme pemerintahan dan diperkecil area kekuasaannya. Banyak wilayah sengaja dipisah sehingga yang tersisa hanya lima onder afdeling saja. Salah satunya onder afdeling Palopo. Saat dikuasai oleh Pemerintah Jepang pun kondisinya sama saja. Sang Raja yang bergelar “Datu” Kerajaan Luwu diberi kebebasan menjalankan pemerintahan sipil tapi diawasi sangat ketat oleh pemerintah militer Jepang.

Seiring waktu Kerajaan Luwu akhirnya bermetamorfosis menjadi Kabupaten Luwu dengan Palopo sebagai ibukotanya. Lalu berdasarkan Peraturan Pemerintah tahun 1986 Palopo berubah menjadi Kota Administratif. Namun sejak tahun 2002 Kotif Palopo meningkat statusnya menjadi Daerah Otonom Kota Palopo dan berpisah dari induknya Kabupaten Luwu. 

Kota Palopo dan Kabupaten Luwu keduanya masuk dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Dari Makassar ibukota Propinsi Sulawesi Selatan menuju Kota Palopo membentang jarak sekitar 362 km, dengan moda transportasi umum yang marak digunakan adalah bus antar kota dan mobil panther yang bisa ditemui di Terminal Bus Daya Makassar.!break!

Namun banyak juga calon penumpang yang lebih memilih menunggu bus lewat di jalan utama karena tarifnya akan lebih murah tapi dengan resiko kemungkinan tidak mendapat tempat duduk. Perjalanan ke Kota Palopo bisa ditempuh sekitar tujuh sampai delapan jam. Tapi dengan mobil panther akan jauh lebih cepat karena kecenderungannya mobil ini melaju dalam kecepatan yang agak mengerikan.

Sepanjang jalan dari Makassar menuju Palopo, kita akan disuguhi visual kota-kota yang bergerak dinamis tanpa meninggalkan identitasnya. Beberapa kota ini dari waktu ke waktu juga meluangkan diri merayakan kebesaran I LA GALIGO dalam pesona pesta rakyat yang meriah. Di Sulawesi Selatan, kisah ini memang berdenyut kuat di tengah masyarakat berkultur Bugis dan Luwu.

Nama “Palopo” diyakini mulai digunakan sejak tahun 1604 yang ada hubungannya dengan pembangunan Mesjid Jami’ yang juga dibangun tahun itu. Kata “Palopo” berasal dari kata bahasa Bugis-Luwu yang memiliki dua arti. Pertama berarti penganan berupa campuran ketan dan air gula merah. Kedua berarti memasukkan pasak ke dalam tiang bangunan. Mesjid Jami’ atau Mesjid Tua ini masih ada sampai sekarang. Letaknya persis diseberang jalan dan hanya beberapa langkah dari istana Kerajaan Luwu. Beberapa bagian dari mesjid ini sudah dipugar. Di halaman depannya terpasang semacam terpal untuk menampung jemaah yang tidak kebagian tempat di dalam ruang mesjid.

Saat ini Istana Kerajaan Luwu bisa disaksikan di pusat Kota Palopo, tepatnya di jalan Andi Jemma. Nama jalan ini diambil dari nama Datu terakhir yang berkuasa sebelum Kerajaan Luwu meleburkan diri kedalam pemerintah Republik Indonesia setelah masa proklamasi. Pada tanggal 26 Juli 1971 Istana ini diresmikan sebagai Museum Batara Guru oleh Bupati Luwu saat itu – Andi Achmad yang merupakan salah seorang ahli waris dari Raja Luwu.

Sayangnya, keberadaan istana Kerajaan Luwu saat ini belum maksimal penyajian dan gaungnya ke ruang publik sebagai media pengetahuan dan penghubung bagi generasi terkini untuk mengunjungi dan menghayati kemegahan Kerajaan Luwu di masa lampau. Istana Kerajaan ini selalu terlihat sepi dengan pagar yang terkunci rapat. Sejarah yang mengalirinya ikut tersimpan rapat dalam diam.

Ketika menjejakkan kaki dan mengedarkan pandangan di sekujur Kota Palopo di era terkini, yang terlihat adalah pemandangan kota – kota pada umumnya di Indonesia. Kota dengan luas wilayah sekitar 247,52 km2 ini, berbatasan dengan Kecamatan Walenrang - Kabupaten Luwu di sebelah Utara. Sebelah Selatan dengan Kecamatan Bua - Kabupaten Luwu. Di bagian Timur dengan Teluk Bone dan bagian Barat dengan Kecamatan Tondon Nanggala, Kabupaten Tana Toraja.

Saat ini secara administratif, Kota Palopo terdiri atas 9 kecamatan dan 48 kelurahan. Pada wilayah yang di luar pusat kota masih terlihat rumah-rumah yang terbuat dari kayu. Beberapa masih ada yang model panggung. Makin mendekat ke pusat kota terlihat makin banyak bangunan permanen berbagai desain. Mulai dari gedung pemerintahan, sentra-sentra bisnis, sekolah dan rumah-rumah penduduk. Tidak terbayang bahwa kota ini pernah memainkan perannya sebagai ibukota kerajaan tertua di Sulawesi Selatan yaitu Kerajaan Luwu.!break!

Sayang kebesaran itu seolah memuai tanpa bekas. Yang tersisa adalah perdebatan panjang para sejarawan dan peminat sejarah yang selalu dihantui pertanyaan yang belum terjawab karena rekam jejak sejarah yang begitu minim atau bahkan hilang seiring zaman.Tapi dari sekian banyak pendapat, ada yang menyarankan jika ingin mempelajari luwu yang sebenarnya maka disarankan untuk memulai dari Wotu, Towuti, Kamanre, Pao Malangke lalu Palopo.

Mengeksplor Kota Palopo sangatlah mudah. Cukup berjalan di pusat kota, kita sudah bisa menikmati banyak hal seperti Istana Kerajaan Luwu, Mesjid Jami’ Tua, Lapangan Gaspa, Mesjid Agung. Jika ingin melihat apa adanya ritme ekonomi kehidupan sehari-hari orang Palopo maka berkunjunglah ke Pasar Sentralnya. Letaknya juga masih termasuk kawasan pusat kota.

Disini bisa ditemui beragam hal layaknya sebuah pasar, termasuk alat transportasi bernama bentor atau becak motor yang berderet menunggu penumpang dan berbagai makanan khas yang sangat mudah dijumpai dengan harga yang terjangkau. Ada Kapurung yang terbuat dari sagu. Sejenis papeda tapi langsung dicampur dengan kuah ikan atau kuah daging dan sayuran. Kapurung sulit untuk dipisahkan dari hidangan khas lainnya yaitu Parede. Masakan ikan yang dilumuri kunyit dan biasanya ditambahkan potongan belimbing dan tomat. Rasanya segar sekali. Selain itu ada Lawak yang terdapat beberapa versi tergantung bahannya. Ada yang terbuat dari jantung pisang. Ada juga yang terbuat dari sayur paku. Untuk oleh-oleh berupa cemilan maka Bagea yang terbuat dari sagu adalah pilihan yang tepat.

Selain itu ada beberapa lokasi lainnya yang menarik untuk dikunjungi. Saat memasuki wilayah Kota Palopo dari arah selatan maka kita akan melewati kesejukan sebuah kawasan bernama Bukit Sampoddo. Tempat ini berjarak sekitar 7 kilometer dari pusat kota. Merupakan salah satu tempat bersantai yang mampu memanjakan mata dengan keindahan pemandangannya yang memadukan nuansa pegunungan, daratan dan pesisir.

Selain itu juga terdapat jejeran warung yang bisa memanjakan perut dengan jagung bakar maupun jagung rebusnya. Itu sebabnya tempat ini marak dikunjungi terutama sore dan malam hari. Latuppa yang berada sekitar 5 kilometer dari pusat kota juga menjadi objek wisata yang sering dikunjungi warga lokal setempat dan dari daerah sekitarnya. Kawasan wisata ini berhawa sejuk bernuansa pegunungan. Terdapat pemandian alam, air terjun tiga tingkat dan kolam renang agro wisata. Yang lebih menyenangkan lagi, pada musim buah durian, rambutan dan langsat, di sepanjang jalan kita akan mudah menemukan buah-buahan tersebut dengan harga yang terbilang miring.

Terdapat juga tujuan wisata lain seperti Bambalu yang berjarak sekitar 18 kilometer dari pusat kota. Tempat inidikenal dengan pemandangan air terjun, puluhan air sungai, ngarai dan lembahnya. Pantai Labombo yang berlokasi di pusat kota juga layak untuk disambangi. Birunya laut, barisan pohon kelapa dan gazebo menjadi suguhan yang menawan.

Kota Palopo sebenarnya sangat kaya dan berpotensi untuk kembali berjaya seperti waktu lampau. Tapi diperlukan usaha ekstra keras dan kejujuran yang hakiki untuk mengelolah semua potensinya. Dalam banyak hal, Pelabuhan Tanjung Ringgit menjadi salah satu aset yang berpotensi untuk bisa mendongkrak kekuatan di sektor perdagangan, transportasi dan pariwisata. Semoga dengan manajemen yang tepat, Kota Palopo akan kembali menuai masa kebesarannya.