Di Balik Gerhana Matahari: Dari Gegar Budaya Sampai Festival Budaya

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 1 Februari 2016 | 21:00 WIB
Prof. Dr. Bambang Hidayat selaku Board of Experts National Geographic Indonesia (Dio Dagna Mohamad/National Geographic Indonesia)

Semua orang membicarakan “gerhana matahari total”. Bagi seorang bocah lelaki berambut poni yang masih sekolah di taman kanak-kanak, gerhana matahari adalah kosa kata baru yang terdengar aneh. Sabtu, 11 Juni 1983 adalah hari biasa—tidak ada tanda khusus pada kalender. Namun, suasananya kian tidak biasa. Sekolah, kantor-kantor pemerintah, pertokoan, dan pasar tutup.

Seruas jalan raya yang menghubungkan dua kecamatan di barat Yogyakarta itu masih tampak senyap meski matahari mulai beranjak tinggi. Tak satu pun kendaraan atau orang yang melintas.

Konon kabarnya—seperti yang kerap muncul dalam seloroh warga—orang akan menyaksikan gerhana matahari hanya sekali dalam seumur hidup. Namun, pemerintah melarang keras warganya untuk melihat langsung gerhana matahari. Alasannya, melihat gerhana akan menyebabkan mata menjadi buta. Selebaran dan spanduk resmi beredar menyerukan betapa bahaya gerhana matahari bagi manusia. Pemerintah pusat menyarankan cara aman menyaksikan gerhana matahari adalah menontonnya dari layar kaca televisi. Himbauan pemerintah itu ada benarnya, sinar matahari akan membuat rusak retina mata.

Namun, himbauan itu disebar dan diterjemahkan dengan tendensi berlebihan. Peristiwa alam yang sejatinya bisa dijelaskan secara ilmiah pun berubah menjadi ancaman petaka gerhana. Bahkan, seorang pejabat pemerintah daerah di Jawa Tengah berinisiatif membuat seruan kepada warganya supaya mendekap anak-anak mereka ketika terjadi gerhana. Ada juga pejabat yang memerintahkan untuk membunyikan sirine bahaya ketika gerhana. Sebagian masyarakat menganggap suasana gelap yang tercipta saat gerhana itulah yang berpengaruh buruk pada tubuh dan budi manusia. Masyarakat tidak mendapat informasi yang benar perihal gerhana. Singkat kata, gegar budaya soal gerhana pun melanda warga.

Pemerintah melarang keras warganya untuk melihat langsung gerhana matahari. Alasannya, melihat gerhana akan menyebabkan mata menjadi buta. Selebaran dan spanduk resmi beredar menyerukan betapa bahaya gerhana matahari bagi manusia.

Bocah lelaki itu duduk diapit oleh ayah dan ibunya di ruang keluarga. Dari layar televisi hitam-putih,  mereka menyaksikan siaran langsung TVRI tentang kegiatan peneliti di Candi Borobudur sebagai salah satu tempat pengamatan gerhana terbaik. Dari sekian peneliti, tampak beberapa menteri yang turut menyaksikan gerhana matahari di candi yang menjadi salah satu adikarya dunia.  Televisi kebanggaan negeri itu mengudara dari pukul sembilan pagi sampai pukul satu siang. Selain hari minggu, tayangan televisi ketika pagi hari adalah tontonan istimewa bagi seluruh warga Indonesia pada saat itu.

Gerhana Matahari Total 1983 melintasi sejumlah kota di Jawa seperti Yogyakarta, Solo, Semarang, Kudus, Cepu, Madiun, Kediri, dan Surabaya. Sementara, Jakarta hanya dibayangi gerhana sebagian. Kendati pemerintah telah menyerukan kepada warga supaya aktivitas ekonomi tetap berjalan seperti biasa, kota-kota yang dilalui jalur gerhana tampak seperti kota mati.

Sejak pagi bocah kecil itu memang sudah gelisah. Dia mendapati semua pintu dan jendela rumahnya harus dalam keadaan tertutup. Jangankan berada di pekarangan rumah, orang tuanya melarang si bocah untuk melihat langit, bahkan mencuri pandang dari celah lubang angin pun seolah perbuatan berdosa. Setiap menit kian mencekam dan mencekam.

Puncak ketercekaman pun tiba ketika aba-aba hitungan mundur dari televisi. Itu artinya siang akan segera menggulita. Bocah kecil itu melihat ke arah jendela kaca yang bertirai tembus pandang. Dari tempat duduknya, dia menyaksikan siang yang berangsur menjadi malam. Dia memerhatikan suasana di rumah seberang: langit, atap-atap rumah dan rerimbunan pohon bambu yang awalnya tampak jelas, berangsur tertutup gelap. Sekali lagi, mendekati jendela berarti melanggar larangan orang tua—juga negara. Seketika rasa gelisah si bocah berganti dengan ketakjuban kepada semesta saat siang menjadi hilang.

Baca juga: Astronom: Saturnus Akan Kehilangan Cincinnya dalam Waktu Cepat

Fase gerhana matahari di Salem, Oregon, dipotret menggunakan eksposur ganda. (Marcus Yam, Los Angeles Times/Getty via National Geographic)

Sekitar lima menit, matahari seolah sirna. Orang-orang tua kerap mengibaratkan Dewi Sri sebagai lambang kecantikan yang ditelan Sang Kala Rahu lambang kejahatan.Inilah gerhana matahari total yang terlama pada akhir abad ke-20, di sebuah pulau yang padat penduduknya. Selama gerhana, keluarga bocah itu tidak meninggalkan tempat duduk mereka. Tak satu pun yang berani mendekat jendela. Propaganda pemerintah sejauh ini tampaknya efektif!

Pada saat yang sama, namun berada di belahan lain di Jawa, Guru Besar bidang astronomi dari Institut Teknologi Bandung, Bambang Hidayat, tengah berada di Cepu menyaksikan peristiwa alam nan langka. Ketika itu Bambang juga menjabat sebagai Direktur Observatorium Bosscha. Di kota perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur itu astronom dari LAPAN dan luar negeri—seperti Filipina dan Jepang, termasuk pelancong mancanegara—telah berkumpul untuk pengamatan gerhana.