Ketika matahari terbit pada Rabu 9 Maret 2016, wilayah Indonesia telah memasuki fase gerhana selama tiga jam berikutnya. Panjang gerhana sekitar tiga menit, sementara lebar jalur gerhana adalah 155 kilometer. Gerhana tersebut akan memakan waktu total empat menit di sebuah titik di daerah Pasifik yang tak berpenghuni. "Orang tidak mau ke sana karena tidak bisa berdiri di laut," kata Bambang. "Oleh karena itu memilih wilayah Indonesia yang banyak memiliki tempat bagus untuk mengamati."
Dalam seminar itu Bambang juga memaparkan tiga fase dalam gerhana matahari total—tidak semua fase berbahaya bagi mata telanjang yang menyaksikannya. Fase awal, ujarnya, piringan bulan akan mulai menutupi piringan matahari. "Pada fase ini, harap masyarakat tidak melihat kearah matahari dengan mata telanjang.Kemilau tajam surya dapat berbahaya bagi retina mata."
Fase kedua, bulan menutup permukaan matahari, menuju kearah penggelapan sempurna gerhana matahari memasuki fase total. Pada fase ini, orang dapat melihat kegelapan surya dengan mata telanjang. “Beberapa menit saja!” seru Bambang mewanti-wanti. “Dalam fase ini kita bisa menyaksikan keindahan lapisan angkasa Matahari terluar, korona matahari.”
Fase ketiga, Bambang melanjutkan, piringan bulan mulai bergeser meninggalkan cakram Matahari. Pada saat seperti ini umbra bulan hendak meninggalkan matahari. “Mata harus terlindung dari terpaan sinar terang matahari,” ujarnya.
Tiga puluh empat tahun setelah Gerhana Matahari Total 1983 yang mencekam, bocah taman kanak-kanak pada awal cerita tadi berkesempatan bertemu dengan Bambang Hidayat. Mereka berjabat tangan dengan erat—sebuah perjumpaan yang sudah diatur semesta. Astronom kawakan itu memberikan tanda tangan dan menulis sebuah kesan perjumpaan untuknya, “Senang bertemu Anda.”
Bocah taman kanak-kanak berambut poni yang gelisah saat gerhana itu adalah saya.