Ganda Suganda, Penjaga Budaya Panjalu

By , Senin, 29 Februari 2016 | 18:00 WIB

Masyarakat setempat menuturkan, di Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, 40 kilometer utara kota Ciamis, Jawa Barat, pernah berdiri Kerajaan Panjalu pada abad ke-8.

Salah satu rajanya, Prabu Syang Hyang Borosngora, meninggalkan banyak kearifan lokal dalam bentuk siloka atau petuah. Peninggalan itu kini dipelihara, antara lain, oleh Ganda Suganda atau Mang Ganda.

Salah satu kearifan lokal yang dilestarikan keturunan Panjalu adalah upacara Nyangku, yakni membersihkan benda-benda peninggalan raja-raja Panjalu. Ritual adat ini digelar setiap bulan Maulud tahun Hijriah.

Tradisi ini juga mempertahankan siloka tentang pelestarian Situ Lengkong seluas 67 hektar, yang diyakini merupakan bekas keraton Panjalu.

”Yang bertugas mengisi seni tradisi dan menata artistiknya adalah Mang Ganda beserta Komunitas Anak Ibu (KAI) Panjalu,” ujar Dedi Koesmana, Kepala Seksi Kebudayaan Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis.

Mang Ganda adalah panggilan akrab Ganda Suganda (58), seniman pelukis siluet sekaligus pendiri dan pembina KAI Panjalu.

Dalam tradisi Nyangku, masyarakat membersihkan benda-benda pusaka berusia ratusan tahun, seperti pedang milik Syang Hyang Borosngora, senjata cis, kujang, dan keris komando.

Air untuk bersih-bersih itu harus diambil dari tujuh sumur, yakni mata air Situ Lengkong, Karantenan, Kapunduhan, Cipanjalu, Kubangkelong, Pasanggrahan, dan Kulah Bombang. Ketujuh mata air di kawasan Desa Panjalu itu berada pada ketinggian rata-rata 700 meter di atas permukaan laut.

Ritual pengambilan air itu merupakan siloka atau simbol bahwa ketujuh sumber air harus dipelihara karena merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat. Situ Lengkong menjadi tempat wisata ziarah yang ramai sekaligus sumber pengairan bagi ribuan hektar sawah di kawasan itu.

”Ritual ini memberikan keuntungan bagi perekonomian setempat. Begitu juga Situ Lengkong yang merupakan obyek wisata ziarah,” ujar Bupati Ciamis Iing Syam Arifin, awal Januari 2016.

Mang Ganda bertugas menata ritual adat Nyangku setahun sekali. Dalam keseharian, dia juga berusaha menjalankan siloka-siloka peninggalan leluhur, terutama yang tertuang dalam Papagon Kapanjaluan.

Papagon itu, antara lain, berbunyi: mangan karna halal, pake karna suci, tekad-ucap-lampah-sabeuneureu. Artinya, makanlah dengan makanan yang halal, yakni bersih dari cara memperolehnya dan bersih dari segi kesehatannya.

Masyarakat adat berusaha mengamalkan siloka secara utuh. Mereka mengenakan pakaian bersih, menjaga kejernihan hati, pikiran, tutur kata, dan perilaku. Perilaku harus teguh di jalan yang benar, sesuai ajaran agama.

Pepatah ini juga mengandung makna, manusia harus tulus ikhlas dalam menjalankan amanah dan tidak boleh mengambil hak orang lain. Melalui KAI, Mang Ganda menularkan nilai-nilai itu kepada generasinya.

Komunitas Anak Ibu

Keturunan Panjalu harus menjalankan Papagon Kapanjaluan serta wajib menjaga lingkungan di sekitarnya.

”Melalui KAI, kami berupaya memberikan pengertian kepada warga semampunya. Kami juga bekerja sama dengan pencinta alam lainnya untuk menjaga kelestarian Gunung Sawal dan Gunung Bitung,” tutur Mang Ganda di pedepokan seni sederhana tidak jauh dari Situ Lengkong, awal Januari lalu.

Desa Panjalu yang diapit Gunung Sawal di selatan dan Gunung Bitung di utara merupakan sumber air bagi Kabupaten Ciamis. Di tengah daerah itu terdapat Situ Lengkong, danau seluas 58 hektar yang merupakan sumber air bagi areal pertanian di bawahnya.

Syang Hyang Borosngora mewanti-wanti agar sumber air tersebut tidak dikotori karena kala itu merupakan benteng keraton.

Di tengah danau terdapat Nusa Gede, yakni pulau seluas 9,25 hektar yang merupakan hutan sebagai pusat keratonnya.

Buku Sejarah Panjalu karya H Djadja Sukardja (2001) mengisahkan legenda bahwa air Situ Lengkong berasal dari air zamzam yang dibawa Sang Prabu saat pulang mencari ilmu kesucian (agama) di Tanah Suci, Mekkah.

!break!

Danau itu dijadikan benteng keraton sekaligus mengandung siloka bahwa tidak ada penangkal hidup yang baik kecuali kesucian. Suci dalam hati, ucapan, perbuatan, dan makanan serta pakaian.

Sang Prabu juga menjadikan Situ Lengkong sebagai sumber air minum sehingga tidak boleh dicemari. Kearifan lokal itu mengisyaratkan, masyarakat hendaklah bersih seperti air zamzam dan hidup berpagar nilai-nilai agama. Borosngora juga gelar siloka yang diberikan rakyat kala itu.

Boros artinya rebung bambu yang tumbuh di sela-sela induknya, menerobos lapisan tanah. Tanaman itu tumbuh dan berkembang sebagai pembaru yang membawa benih tatanan hidup yang lebih segar.

Leluhur Panjalu mengingatkan, kehidupan itu penuh dinamika. ”Kami mengalaminya sekarang. Situ Lengkong berkembang jadi tempat wisata, dan kini banyak perahu mesin berbahan bakar minyak. Bekas bensin dan oli kadang berceceran di air. Kewajiban kami menyampaikan fakta-fakta itu kepada semua pihak,” papar Mang Ganda.

Dari puluhan perahu yang beroperasi di Situ Lengkong, sebagian digerakkan dengan digowes pemilik perahu.

Pedagang jengkol

Meski saat ini berkhidmat sebagai seniman tradisi, Mang Ganda menyimpan kisah hidup menarik. Bapak beranak lima ini pernah mencoba menjadi tukang (pedagang) jengkol di Pasar Babatan, Kota Bandung.

”Beberapa tahun saya jadi pedagang sayuran, tapi tidak pernah mencapai harapan sesuai tuntutan keluarga,” ujar Mang Ganda yang di pasar tradisional itu terkenal sebagai tukang jengkol.

Tahun 1996, dia memutuskan pulang ke tanah kelahirannya di Panjalu. Sejak itu, dia berkembang menjadi seniman desa yang setia menjaga nilai-nilai warisan leluhur.

Keahlian utama Mang Ganda adalah melukis siluet dan membuat aneka cendera mata. Karena usia, keahlian siluet sudah diturunkan kepada kedua anak terbesarnya, sedangkan pembuatan cendera mata disebarkan kepada anggota komunitas terutama perempuan.

”Kebetulan anak-anak komunitas menganggap istri saya seperti ibu kandung mereka sehingga mereka berlatih di sini,” kata Mang Ganda.

Ia kini berkonsentrasi membuat wayang landung, yakni wayang raksasa seperti topeng badawang atau ondel-ondel Sunda. Seni rakyat itu merupakan ikon seni gelaran khas Panjalu, Kabupaten Ciamis.

Berbekal dari kearifan lokal di atas, wayang landung pun dibuat dari bahan-bahan alami yang sudah tidak terpakai, seperti kayu kering di kebun rakyat atau daun pisang kering (kararas) yang dilengkapi aneka bunga. Wayang setinggi 3-4 meter ini mirip badawang, tetapi wajahnya seperti wayang dan bisa dimainkan oleh dalang seperti halnya wayang golek. Pembuatan wayang landung menambah kreasi seniman ini. (DEDI MUHTADI)