Memaknai Gerhana Matahari, yang Kita Lupakan dari Bintang Kita

By , Selasa, 8 Maret 2016 | 15:00 WIB

***

Hari-hari ini matahari kembali mendapat perhatian berkaitan dengan terjadinya gerhana pada Rabu (9 Maret 2016) esok. Fenomena ini selayaknya disikapi berbeda dibanding gerhana tahun 1983.

Banyak orang mengingat, saat Gerhana Matahari total terjadi tahun 1983, pemerintah meminta warga untuk berada di rumah dan menutup rapat-rapat semua lubang yang memungkinkan sinar matahari masuk untuk mengindari dampak buruk seperti kebutaan, hingga anak-anak diminta bersembunyi di kolong meja.

(Baca: Menentukan Eksposur Yang Tepat Dalam Memotret Gerhana)

Padahal, gerhana yang terjadi tahun 1983 boleh jadi kesempatan berharga karena lama fasenya mencapai 3-5 menit, sedangkan gerhana yang akan terjadi pada 9 Maret 2016 hanya 1-3 menit.

Berdasarkan arsip harian Kompas, gerhana tahun 1983 mendapat pengakuan sebagai gerhana terindah yang pernah disaksikan para ahli saat itu.

Pemerintah Orde Baru saat itu memang gencar melarang warga melihat langsung Gerhana Matahari total.

Pemerintah berdalih, melihat Gerhana Matahari dengan menggunakan alat bantu sekalipun rawan menyebabkan kebutaan.

Presiden Soeharto menginstruksikan Menteri Penerangan Harmoko untuk terus-menerus memberikan penjelasan kepada masyarakat soal bahaya kebutaan saat Gerhana Matahari total terjadi.

(Baca: Menentukan Sudut Pandang Saat Memotret Gerhana Matahari)

Harian Kompas edisi Rabu (2/3/2016) juga menuliskan, Presiden kedua RI Soeharto menggunakan Gerhana Matahari total (GMT) 11 Juni 1983 yang berpuncak di Laut Jawa di utara Pulau Madura selama 5 menit 11 detik untuk menguji tuah kekuasaannya.

Presiden yang berkuasa selama 32 tahun ini ingin melihat apakah perintahnya sebagai pemimpin dipatuhi atau tidak oleh bawahan dan rakyatnya.