(Baca: Seperti Inilah Langit Indonesia Saat Gerhana Matahari Total)
Ujian atas kekuasaan itu dikemukakan astronom sekaligus filsuf pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Karlina Supeli. Saat perintah Soeharto itu disampaikan tahun 1983, Karlina bertugas di Planetarium dan Observatorium Jakarta.
"Pelarangan waktu itu menjadi alat bagi Presiden Soeharto untuk menguji kepatuhan rakyat di Jawa terhadap perintah. Terbukti, rakyat memang tunduk dan patuh," ujar Karlina.
Kontras dengan peristiwa itu, kini menghadapi gerhana tanggal 9 Maret 2016, Karlina dan para ilmuwan lain mengajak masyarakat agar tidak perlu merasa takut berlebihan menghadapinya. Sebaliknya, justru gerhana harus dirayakan sebagai fenomena langka yang bisa kita saksikan.
(Baca: Mitologi-Mitologi Gerhana di Nusantara)
"Kegelapan yang menyertai tertutupnya matahari oleh piringan bulan itu justru dimaknai sebagai kegembiraan, bukan ketakutan," demikian ujar Karlina.
Gerhana kali ini membuat berbagai daerah yang dilaluinya kebanjiran penonton. Pemerintah dan masyarakat di daerah-daerah menggelar berbagai acara budaya menyambutnya.
Presiden Jokowi bahkan berencana melihat langsung gerhana di wilayah yang dilalui fenomena itu. Tentu semua itu dilaksanakan dengan alat yang tidak membahayakan mata penontonnya.
Dari sisi lain, di luar segala festival dan perayaan, peristiwa gerhana kali ini baik juga bila dijadikan pengingat bahwa kita memiliki matahari yang istimewa.
(Baca: Mutu Manikam Incaran Pemburu Gerhana)
Keberadaan matahari sering tak dirasakan karena kehadirannya adalah sesuatu yang lumrah. Nah, bila sehari-hari kita menganggap sinarnya sebagai sesuatu yang biasa, maka gerhana bisa mengingatkan betapa sesungguhnya cahaya itu sangat berarti.
Gerhana memungkinkan kita dalam skala tertentu, sebentar merasakan bagaimana hidup tanpa matahari.
Meski tak lagi mendewakannya, melalui gerhana, kita patut mensyukuri betapa beruntungnya kita memiliki matahari, sang bintang kecil yang memiliki arti besar bagi kehidupan.