Supersemar, Surat Kuasa atau "Alat Kudeta"?

By , Jumat, 11 Maret 2016 | 11:00 WIB

Polemik Surat Perintah 11 Maret 1966 sudah memasuki usia emas, 50 tahun sejak dikeluarkan.

Namun, hingga saat ini kabut misteri mengenai surat yang dianggap menjadi penanda berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno yang dilanjutkan oleh Soeharto itu belum juga surut.

(Baca: Supersemar, Surat Sakti Penuh Misteri)

Perdebatan berawal dari eksistensi atau keberadaan Supersemar yang dicurigai tidak pernah ada. Akan tetapi, keraguan mengenai keberadaan Supersemar itu dianggap sirna setelah munculnya jawaban dari Presiden Soekarno.

Dalam pidato yang disampaikan pada peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno menyebut mengenai Supersemar, yang juga jadi bukti keberadaannya.

Akan tetapi, Soekarno membantah telah memberikan surat kuasa untuk transfer kekuasaan kepada Letjen Soeharto yang ketika itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat.

(Baca juga: Aksi Soeharto Berbekal Supersemar, dari Bubarkan PKI hingga Kontrol Media)

"Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority, padahal tidak," kata Soekarno dalam pidato berjudul "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" atau lebih dikenal dengan sebutan "Jasmerah".

Soekarno kemudian memberikan penjelasan mengenai alasan dikeluarkannya Supersemar. Menurut Soekarno, Supersemar tak lain sebagai perintah untuk menjaga stabilitas keamanan.

Sejak peristiwa Gerakan 30 September 1965, situasi politik di Indonesia bisa dibilang genting. Sejumlah aksi kekerasan di berbagai wilayah sudah terjadi, dengan menjadikan anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia dan kelompok underbouw-nya sebagai sasaran.

Sejarawan Asvi Warman Adam menambahkan, situasi politik di Jakarta, terutama di sekitar Istana Kepresidenan, pada 11 Maret 1966 memicu puncak ketegangan di lingkar kekuasaan.

Sejumlah pasukan tentara tidak dikenal diketahui mengepung Istana Kepresidenan, yang belakangan diketahui merupakan pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris.

Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkan soal tentara tidak dikenal itu kepada Presiden Soekarno.