Supersemar, Surat Kuasa atau "Alat Kudeta"?

By , Jumat, 11 Maret 2016 | 11:00 WIB

(Baca: Benarkah Soekarno Ditodong Pistol Saat Teken Supersemar?)

Atas laporan itu, Soekarno yang saat itu memimpin sidang kabinet lalu menyerahkan kepemimpinan kepada Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena. Soekarno lalu memutuskan untuk terbang ke Bogor dengan helikopter.

"Jika kondisinya masih normal, Bung Karno akan tetap di Istana Negara. Artinya, kondisi pada saat itu sudah sangat meruncing dan panas," ujar Asvi Warman Adam saat ditemui Kompas.com akhir pekan lalu (6/3/2016).

Melihat rawannya situasi saat itu, penjelasan Soekarno mengenai Supersemar itu pun memiliki konteks yang bisa dipahami. Surat Perintah itu ditulis Soekarno untuk menjamin keselamatan dirinya, juga keluarga.

(Baca juga: Jelang Lahirnya Supersemar, Soekarno Ketakutan Istana Dikepung Pasukan Liar)

"Itu juga perintah pengamanan pribadi presiden, perintah pengamanan wibawa presiden, perintah pengamanan ajaran presiden, perintah pengamanan beberapa hal. Dan Jenderal Soeharto telah melaksanakan perintah itu dengan baik," ujar Soekarno dalam "Jasmerah".

Ditafsirkan berbeda

Asvi Warman Adam menilai perintah Presiden Soekarno itu ditafsirkan berbeda oleh Menpangad Letjen Soeharto.

Penafsiran yang berbeda itu pertama kali diimplementasikan saat Soeharto membuat Surat Kebijakan Nomor 1/3/1966 atas nama Presiden Soekarno, untuk membubarkan PKI.

Soeharto dianggap keliru dalam menafsirkan kata "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi".

(Baca: Tiga Kontroversi di Balik Supersemar 11 Maret 1966)

"Itu yang dijadikan dasar untuk pembubaran PKI. Jadi sangat sakti surat itu," tutur Asvi.