Jalanan Jakarta disesaki sedan berpelat kuning, Selasa (23/3/2016) kemarin. Pengemudinya berunjuk rasa agar pemerintah memblokir Uber, Grab, dan layanan transportasi berbasis aplikasi serupa.
Dalihnya beragam. Mulai dari status usaha Uber yang belum jelas, hingga prosedur uji kelayakan angkutan umum Grab yang tak juga rampung. Paling utama, Uber dan Grab dianggap mengusik kemapanan Blue Bird, Express, dan perusahaan taksi konvensional lainnya.
Bagaimana tidak, baru sekitar dua tahun beroperasi di tanah air, Uber dkk sudah merampas rata-rata 40 persen jatah profit taksi tradisional. Kondisi inilah yang belakangan disebut disruptive alias merusak.
Uber dan Grab "merusak" tatanan sistem transportasi dengan memanfaatkan teknologi. Masyarakat cukup memesan kendaraan via aplikasi di smartphone. Mekanisme pembayaran pun bisa dipilih. Menggunakan kartu kredit, debit, atau tunai.
Selain itu, dibandingkan taksi tradisional, tarif Uber dkk lebih murah sekitar 30 persen pada kondisi normal. Hal ini dimungkinkan konsep "sharing economy" atau ekonomi berbagi yang lebih efisien.
Sederhananya, Uber punya aplikasi, orang A punya mobil, dan orang B ingin menumpang. Uber tak memiliki satu pun mobil angkutan dan tak memperkerjakan satu pun sopir. Semuanya bersifat kemitraan.
Karenanya, Uber tak perlu mengeluarkan ongkos perawatan mobil, seragam sopir, pool, dan sebagainya. Beda dengan konsep taksi tradisional yang semuanya serba memiliki (owning economy). Alhasil, alokasi biaya lebih banyak, argo layanan pun lebih mahal.
Bukan cuma Uber dan Grab
Inovasi "disruptive" bukan cuma milik Uber dan Grab. Lebih tepatnya, bukan cuma industri transportasi yang dihantam perkembangan teknologi. Sektor-sektor lain pun merasakan imbas serupa.
Misalnya Facebook yang mengusik eksistensi industri media, Airbnb yang mengkhawatirkan industri perhotelan, serta Amazon yang mendominasi industri retail.
Facebook adalah jejaring sosial dengan 1 miliar pengguna aktif setiap harinya. Politikus, sutradara, artis, jurnalis, para opinion leaders, hingga masyarakat umum, bergabung di platform tersebut.
Mereka membagi pengalaman saat melihat atau merasakan sesuatu lewat unggahan berbasis teks, foto, maupun video. Kontennya beragam, mulai dari yang bersifat personal (galau kerjaan, galau percintaan, dan lainnya), hingga peristiwa masif (bencana alam, aksi terorisme, atau kecelakaan).