Nationalgeographic.co.id - Manusia suka domestikasi atau menjinakkan apa saja demi kelangsungan hidupnya. Namun apa yang membuat kita berbeda dengan kerabat manusia lainnya yang punah seperti Neanderthal dan Denisovian, adalah kemampuan kita untuk mendomestikasi diri sendiri, bukan hanya hewan dan tumbuhan.
Fenomena itu diungkapkan dalam makalah jurnal Evolutionary Biology pada Desember 2019, bahwa manusia modern sifatnya menjadi kurang agresif dan lebih kooperatif daripada manusia purba lainnya.
Domestikasi itu terjadi dengan berbagai perubahan genetik yang muncul, sehingga jadi tidak seliar sebelumnya dan memiliki bentuk fisik yang berbeda. Para peneliti memperkirakan proses ini terjadi jauh sebelum manusia domestikasi hewan dan tumbuhan.
Pada anjing dan rubah peliharaan misalnya, ada banyak perubahan bersifat fisik seperti gigi dan tengkorak yang lebih kecil, telinga yang terkulai, serta ekor yang lebih pendek dan lebih keriting. Perubahan fisik ini menjadi fakta bahwa pemeliharaan hewan lebih sedikit mempunyai sel punca puncak saraf, dari versi liar (non-domestikasi) mereka.
Baca Juga: Penyakit Misterius Bikin Beruang di AS Jadi Jinak seperti Anjing
Perubahan fisik ini terjadi pada manusia, dan salah satunya disebabkan oleh suatu gen. Para peneliti yang dipimpin oleh Matteo Zanella dari Department of Oncology and Hemato-Oncology University of Milan, Italia, mengungkap bahwa gen itu adalah BAZ1B. Gen ini sangat berperan penting dalam mengatur pergerakan sel-sel krista saraf.
Testa dan tim menulis, manusia umumnya mempunyai dua salinan gen ini, tetapi tidak pada mereka yang mengidap sindrom Williams-Beuren. Sindrom itu adalah gangguan kognitif dengan ciri fisik tengkorak yang lebih kecil, fitur wajah yang tidak biasa, dan kurang ramah. Pengidap sindrom itu tidak memiliki satu salinan BAZ1B bersama dengan beberapa salinan lainnya.
Dari situlah mereka mempelajari peran BAZ1B dalam fitur tersebut, lewat eksperimen perbandingan dari pengidap sindrom Williams-Beuren dengan gangguan lainnya yang berhubungan dengan gen tersebut, dan yang tidak mengidap gangguan sama sekali.
Hasilnya, mereka menemukan bahwa gen BAZ1B yang rusak menyebabkan fitur wajah yang berbeda dari orang-orang dengan sindrom Williams-Beuren. Sehingga Tim menyimpulkan gen ini sebagai pendorong penting untuk tampilan wajah kita.
Baca Juga: Mengapa Kita Lebih Peduli pada Hewan Peliharaan Daripada Sesama?
"Kami memberikan bukti pertama domestikasi diri pada manusia," terang Zanella pada Science News.
Dia menjelaskan, gen di bawah arahan BAZ1B yang berubah ada pada hewan selama domestikasi berlangsung maupun manusia modern saat berevolusi. Uniknya, gen ini tidak ditemukan pada DNA kerabat kita seperti Neanderthal dan Denisovan yang sudah punah.
"Studi ini sangat mengesankan," ujar Richard Wrangham, seorang antropolog biologi di Harvard University saat mengulasnya di Science. "Apa yang mereka fokuskan adalah satu gen yang sangat penting ... tapi jelas akan ada banyak gen kandidat lainnya."
Ada banyak gen yang berbeda untuk memungkinkan peranan pada domestikasi, sehingga para peneliti tidak boleh terlalu fokus pada BAZ1B dalam evolusi, tambahnya.
Baca Juga: Kasuari, Burung Terbuas di Dunia Dipelihara Manusia 18.000 Tahun Lalu
Adam Wilkins ahli biologi evolusi di Stellenbosch Institute of Advanced Study, Stellenbosch, Afrika Selatan, menanggapi makalah ini secara positif. Peneltian terkait BAZ1B dengan biologi seluler ini persis seperti yang diharapkannya, bahwa sel puncak saraf memang berperan atas domestikasi manusia.
Keunikan pengaruh aktivitas beberapa gen disebabkan BAZ1B yang mengubah manusia modern, dianggap "benar-benar akan jadi serangkaian korelasi yang menarik," ujarnya di Science News. Akan tetapi dia mengakui ada beberapa kejanggalan melihat kesimpulan studi ini, dan perlu dikaji lagi untuk diungkap.
Wilkins pada 2014, bersama kelompok kerjanya membuat penelitian tentang domestikasi hewan yang dilakukan oleh manusia dalam jurnal Genetics tahun 2014. Mereka menemukan, ada perubahan genetik yang sedikit menghambat pergerakan sel penting yang berkembang.
Sel-sel puncak saraf ini hadir di awal perkembangan embrio dan berpindah ke berbagai bagian embrio yang kemudian menimbulkan banyak jaringan, termasuk tulang dan tulang rawan di wajah, otot polos, kelenjar adrenal, sel pgimen, dan bagian dari sistem saraf.
Wilkins dan tim yakin, perubahan genetik ringan dapat menghasilkan sel-sel puncak saraf yang tidak bergerak, yang membantu para hewan menjadi jinak pada manusia.