"Bisnis" Abu Sayyaf dan Solusi Indonesia

By , Kamis, 12 Mei 2016 | 15:00 WIB

Didik-bukan nama sebenarnya-mantan mujahidin asal Jawa Tengah mengatakan, selama di Filipina selatan, terutama Mindanao semasa Kamp Hudaibiyah, para mujahidin Indonesia kerap memesan belanjaan dari Indonesia untuk kebutuhan sehari-hari.

"Kami biasa pesan dari pedagang Bugis dengan kapal tradisional yang transit di Kepulauan Sulu, termasuk di Pulau Sulu. Kami saling kenal nama-nama dan siapa yang beraktivitas di sana," katanya.

Urat nadi ekonomi

Sabah, Mindanao, hingga Kalimantan Utara menjadi urat nadi ekonomi orang Kepulauan Sulu. Faisal Dugasan, warga Bongao, Pulau Tawi-Tawi, mengatakan, dirinya biasa berdagang ke Lahad Datu, Sabah.

"Kalau di Lahad Datu banyak orang suku kami. Keluarga saya juga banyak tinggal di sana," kata Faisal.

Pulau Tawi-Tawi sekarang relatif aman karena Presiden Benigno Aquino membangun banyak infrastruktur, seperti jalan dan jembatan di Pulau Tawi-Tawi.

TNI Angkatan Laut juga memiliki perwakilan di Kota Bongau, Tawi-Tawi, sebagai tindak lanjut perjanjian bilateral Indonesia-Filipina tahun 1973.

Selain penculikan, penyelundupan barang kebutuhan pokok adalah bisnis menggiurkan terkait Abu Sayyaf, yakni bisnis senjata dan narkoba.

Sejumlah wilayah di Mindanao dan Visayas, Filipina tengah, merupakan sentra industri senjata rumahan.

Sebagai contoh, satu pucuk pistol FN tiruan buatan Filipina lengkap dengan magazen berisi peluru dijual sepucuk 50 dollar Amerika Serikat atau setara Rp 650.000.!break!

Lino Miani mencatat, jaringan Triad Hongkong, mafia Jepang, hingga mafia Taiwan bermain dalam bisnis senjata gelap dan narkoba dengan ASG.

Mafia Taiwan dan Jepang menggantungkan pasokan senjata buatan Danao dan Mandaue, Cebu, yang dijual via ASG. Adapun Triad Hongkong justru menyelundupkan senjata ke Kepulauan Sulu kepada ASG untuk mendapatkan pasokan narkoba jenis sabu dari ASG.