Kelompok Abu Sayyaf (Abu Sayyaf Group/ASG) yang di Filipina lazim disebut "Abus" terkenal karena jaringan penculikan untuk meminta tebusan dan pemenggalan sandera.
Penculikan dan penyanderaan yang mereka lakukan terhadap 14 anak buah kapal dari Indonesia merupakan salah satu contoh.
Tidak hanya penculikan. ASG juga memiliki beragam bisnis dan jejaring teror serta kejahatan internasional dari pusat kekuasaan mereka di wilayah Basuta-Basilan, Sulu, dan Tawi-Tawi, hingga pesisir timur Sabah, Kalimantan Utara, Mindanao, dan Sulawesi Utara.
ASG didirikan oleh Abdurajak Janjalani yang pada 1980-an berperang melawan Uni Soviet di Afganistan. Lino Miani dalam buku The Sulu Arms Market menyatakan, Janjalani berteman dengan Osama Bin Laden.
Setelah Soviet kalah dan mundur dari Afganistan tahun 1989, Janjalani mendirikan al Harakat al Islamiyah kemudian berganti nama menjadi Abu Sayyaf di Pulau Basilan dan mendirikan sejumlah kamp di Pulau Mindanao untuk Al Qaeda.
Selain menculik untuk tebusan, beragam bisnis dijalani ASG. Penyelundupan yang marak antara Kalimantan Utara, pesisir timur Sabah, dan Kepulauan Sulu, hingga Zamboanga adalah sumber pemasukan ASG.
Dalam beberapa kesempatan di pantai timur Sabah di Sandakan, Lahad Datu, dan Tawau, Kompas bertemu dengan beberapa penyelundup asal Pulau Sulu dari etnis Tausug yang sehari-hari berdagang barang kebutuhan pokok produk Indonesia dan Malaysia yang dijual ke Kepulauan Sulu.
"Saya berhubungan dengan semua orang, termasuk keluarga Janjalani," kata salah seorang kontak pedagang Sulu yang sebut saja bernama Waleed dan kini masih aktif berdagang antarpulau dari Sabah ke Kepulauan Sulu.!break!
Seorang pengusaha Indonesia yang memiliki bisnis dari Palangkaraya-Banjarmasin-Samarinda-Tarakan, Sabah, dan Manila juga mengakui hal sama.
"Mereka itu banyak mengambil barang produk Indonesia. Kalau merek rokok buatan Kota Kudus dikirim via Tarakan atau Nunukan lalu masuk Kepulauan Sulu. Kalau rokok buatan Kediri, Jawa Timur masuk via Sulawesi Utara ke Mindanao. Banyak jalan tikus di laut," kata pengusaha yang turun-temurun berbisnis di kawasan tersebut.
Dia menyarankan berhubungan dengan orang-orang Sulu dari berbagai faksi, termasuk Abu Sayyaf, agar membawa oleh-oleh semisal ayam jago.
Pasalnya, di sana budaya menyabung ayam masih hidup dan menjadi hiburan masyarakat dan para tokoh setempat.
"Saya beberapa kali kasih oleh-oleh ayam aduan untuk teman-teman Sulu yang biasa pesan rokok ke Tarakan," katanya.
Didik-bukan nama sebenarnya-mantan mujahidin asal Jawa Tengah mengatakan, selama di Filipina selatan, terutama Mindanao semasa Kamp Hudaibiyah, para mujahidin Indonesia kerap memesan belanjaan dari Indonesia untuk kebutuhan sehari-hari.
"Kami biasa pesan dari pedagang Bugis dengan kapal tradisional yang transit di Kepulauan Sulu, termasuk di Pulau Sulu. Kami saling kenal nama-nama dan siapa yang beraktivitas di sana," katanya.
Urat nadi ekonomi
Sabah, Mindanao, hingga Kalimantan Utara menjadi urat nadi ekonomi orang Kepulauan Sulu. Faisal Dugasan, warga Bongao, Pulau Tawi-Tawi, mengatakan, dirinya biasa berdagang ke Lahad Datu, Sabah.
"Kalau di Lahad Datu banyak orang suku kami. Keluarga saya juga banyak tinggal di sana," kata Faisal.
Pulau Tawi-Tawi sekarang relatif aman karena Presiden Benigno Aquino membangun banyak infrastruktur, seperti jalan dan jembatan di Pulau Tawi-Tawi.
TNI Angkatan Laut juga memiliki perwakilan di Kota Bongau, Tawi-Tawi, sebagai tindak lanjut perjanjian bilateral Indonesia-Filipina tahun 1973.
Selain penculikan, penyelundupan barang kebutuhan pokok adalah bisnis menggiurkan terkait Abu Sayyaf, yakni bisnis senjata dan narkoba.
Sejumlah wilayah di Mindanao dan Visayas, Filipina tengah, merupakan sentra industri senjata rumahan.
Sebagai contoh, satu pucuk pistol FN tiruan buatan Filipina lengkap dengan magazen berisi peluru dijual sepucuk 50 dollar Amerika Serikat atau setara Rp 650.000.!break!
Lino Miani mencatat, jaringan Triad Hongkong, mafia Jepang, hingga mafia Taiwan bermain dalam bisnis senjata gelap dan narkoba dengan ASG.
Mafia Taiwan dan Jepang menggantungkan pasokan senjata buatan Danao dan Mandaue, Cebu, yang dijual via ASG. Adapun Triad Hongkong justru menyelundupkan senjata ke Kepulauan Sulu kepada ASG untuk mendapatkan pasokan narkoba jenis sabu dari ASG.
Menghadapi situasi teror dan penculikan di Kepulauan Sulu dan Abu Sayyaf, Indonesia bisa berperan dengan membuka akses ekonomi Tarakan atau Nunukan ke Bongao di Tawi-Tawi.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah membuka transportasi antara Zamboanga atau Davao dengan Kalimantan Utara atau Sulawesi Utara.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen (Purn) Ansyad Mbai dalam satu kesempatan di Davao pernah ditodong para pengusaha lokal untuk membuka akses hubungan langsung Filipina selatan ke Indonesia.
Daerah tersebut memang bagian dari skema pembangunan ekonomi Brunei-Indonesia-Malaysia-Philippines East Asia Growth Area (BIMP-EAGA).
Apalagi perairan penghubung Filipina, Malaysia, dan Indonesia itu adalah jalur ekonomi strategis. Sepanjang 2015, lebih dari 100.000 kapal melintas di perairan Sulu mengangkut 55 juta metrik ton kargo, lewat lebih dari 1 juta peti kemas berukuran 20 kaki. Perairan Sulu juga menjadi perlintasan 18 juta penumpang kapal.
Dari perairan itu, setiap tahun nelayan dari General Santos Filipina mendulang penghasilan senilai 2 miliar dollar AS dari penangkapan tuna. Nelayan Bitung, Sulawesi Utara, meraup pendapatan lebih dari Rp 40 miliar per tahun dari lokasi yang sama.
Malaysia sudah membuka Pulau Labuan sebagai pusat keuangan, Brunei siap berinvestasi, kini bagaimana Filipina selatan dan wilayah Republik Indonesia di Kalimantan Utara dan Sulawesi Utara serta Gorontalo memanfaatkan peluang menggantikan kekerasan dengan perdamaian dan pertumbuhan ekonomi bersama.