Setelah selama beberapa waktu pendakian Gunung Everest ditutup akibat gempa bumi yang melanda Nepal, kini pendakian gunung tersebut kembali dibuka. Para pendaki dari penjuru dunia kembali berdatangan, berusaha mewujudkan impian mereka untuk menjejakkan kaki di puncak gunung tertinggi di dunia itu.
Namun, pendakian Everest tidak selalu menghasilkan kisah-kisah kemenangan yang menggembirakan. Bersama kemegahan dan kejayaan puncak setinggi hampir 8.850 meter itu, bahaya kematian mengintai para pendaki.
Belum genap sebulan pendakian dibuka kembali, keganasan alam Everest telah menelan korban jiwa. Dua pendaki tewas dalam perjalanan turun dari puncak Everest pada Jumat (20/5) dan Sabtu (21/5) lalu. Kematian dua pendaki ini merupakan kematian pertama di Everest sejak pendakian dibuka kembali pada 11 Mei lalu.
Korban pertama, Eric Arnold, 35, merupakan pendaki asal Belanda, sementara korban kedua adalah Elizabeth Strydom, 34, pendaki asal Australia.
“Arnold tewas di Camp IV, terletak di ketinggian sekitar 8.000 meter,” kata Pasang Phurba Sherpa, perwakilan Seven Summit Treks, organizer pendakian Arnold dan Strydom. Arnold merasa kondisi tubuhnya melemah dan menderita radang dingin. Ia mengatakan kepada rekan pendaki, “Tubuh saya tak bertenaga lagi” sebelum meninggal dalam tidurnya.
Ini merupakan upaya kelima Arnold ke puncak. Upayanya pada tahun 2014 dan 2015 gagal karena bencana alam. Ia bahkan nyaris tak selamat dari gempa 2015.
Setelah kematiannya, website milik Arnold menampilkan foto dirinya dan kata-kata “In Memoriam”.
Arnold pernah mengatakan pada RTV Rijnmond bahwa ia telah bermimpi mendaki Everest sejak ia masih kecil. “Saya memasang poster Gunung Everest di atas tempat tidur,” ungkapnya.
Bergbeklimmer Eric Arnold bereikt top Mount Everest bij vijfde poging https://t.co/oeswLrfXyd pic.twitter.com/991NvMg6Op
— Eric Arnold (@EricArnold8850) 20 Mei 2016
Pada kesempatan itu, ia juga mengakui bahaya pendakian, terutama saat perjalanan turun.
“Dua pertiga kecelakaan terjadi dalam perjalanan turun,” katanya.
Ia melanjutkan, “Jika anda telah tenggelam dalam euforia dan berpikir, ‘saya sudah mencapai tujuan’, ingatlah bahwa bagian paling berbahaya masih ada di hadapanmu.”
Sehari setelah kematian Arnold, Maria Strydom tewas ketika turun dari Camp IV ke Camp III, juga disebabkan oleh penyakit ketinggian.
“Setelah mencapai puncak kemarin, ia berkata merasa amat lemah dan kehilangan tenaga… tanda-tanda penyakit ketinggian,” kata Phurba.
Dosen Monash University tersebut menghembuskan nafas terakhir di sisi suaminya. Mereka berdua telah melakukan perjalanan bersama di Nepal. Mereka bercita-cita mendaki Tujuh Puncak Dunia, puncak-puncak tertinggi di tujuh benua.
Strydom merupakan pendaki berpengalaman. Ia pernah mencapai puncak Denali di Alaska, Aconcagua di Argentina, Gunung Ararat di Turki dan Gunung Kilimanjaro di Tanzania.
Salah satu inspirasinya mendaki ialah, untuk membuktikan bahwa vegetarian—seperti ia dan suaminya—secara fisik mampu melakukan hal-hal besar.
“Tampaknya banyak orang salah persepsi dan menganggap para vegetarian kurang gizi dan lemah,” tulis Strydom dalam sebuah artikel di situs universitasnya. “Dengan mendaki tujuh puncak dunia, kami akan membuktikan bahwa vegetarian dapat melakukan apa saja.”
Phurba mengatakan bahwa butuh beberapa hari untuk menurunkan dua jasad pendaki tersebut dari Everest.
Pada Sabtu itu juga, seorang pendaki Norwegia berusia 45 tahun harus dibantu turun oleh pemandu Sherpa setelah terserang snow blindness—gangguan pengelihatan karena silau cahaya salju.
Sudah tak terhitung kasus pendaki yang jatuh sakit dan menderita radang dingin di dekat puncak Everest. Meskipun resiko besar menanti di Everest, tahun demi tahun jumlah pendaki Everest terus meningkat. Pada hari yang sama dengan kematian Strydom, Alyssa Azar, 19, menjadi pendaki Australia termuda yang mencapai puncak. Lhakpa Sherpa, 42, seorang pegawai toko 7-Eleven di Connecticut memecah rekornya sendiri sebagai pendaki wanita yang paling banyak mencapai puncak Everest.
Musim pendakian Everest biasanya berlangsung selama sekitar dua bulan di musim semi, ketika kondisi memungkinkan bagi tim ekspedisi untuk menawarkan kepada para pendaki untuk mencapai puncak. Sejak pendakian dibuka pada awal Mei lalu, lebih dari 330 orang mendaki Everest dari sisi Nepal, dan beberapa lainnya mendaki dari sisi Tibet.