Sendawa Mikroba Beracun Menyebabkan Kepunahan dalam Sejarah Bumi

By Wawan Setiawan, Jumat, 24 Desember 2021 | 17:00 WIB
Pemodel sistem UC Riverside Earth, Dominik Hülse, bereaksi terhadap hidrogen sulfat. (Dominik Hülse/UCR)

Nationalgeographic.co.id—Menurut sebuah studi baru yang dilakukan oleh para ilmuwan, mikroba kecil yang menyemburkan gas beracun telah membantu menyebabkan dan memperpanjang kepunahan massal terbesar dalam sejarah Bumi.

Pemanasan yang ekstrem yang terjadi pada akhir Permian telah memberikan dampak perubahan besar dalam siklus biogeokimia laut dan kelayakhunian hewan. Perubahan ini mengakibatkan kepunahan metazoa terbesar dalam sejarah Bumi. Namun, mekanisme penyebab kepunahan yang konsisten dengan berbagai catatan proksi kondisi geokimia melalui interval belum ditentukan dengan pasti.

Sebelumnya, para ilmuwan berpikir dan yakin bahwa gunung berapi Siberia yang memuntahkan gas rumah kaca berperan dalam mendorong peristiwa kepunahan massal sekitar 250 juta tahun yang lalu, pada akhir periode Permian. Gas-gas tersebut menyebabkan pemanasan ekstrem, yang pada gilirannya menyebabkan 80% dari semua spesies laut, serta banyak spesies darat, menjadi punah.

Hingga saat ini, para ilmuwan belum bisa menjelaskan secara pasti bagaimana panas menyebabkan kematian tersebut. Sebuah studi baru yang dipimpin ilmuwan dari UC Riverside telah diterbitkan dalam jurnal Nature Geoscience pada 28 Oktober 2021 dengan judul End-Permian marine extinction due to temperature-driven nutrient recycling and euxinia. Studi ini menunjukkan bahwa panas telah mempercepat metabolisme mikroba, sehingga menciptakan kondisi yang mematikan.

"Setelah oksigen di laut digunakan untuk menguraikan bahan organik, mikroba mulai 'bernapas' sulfat dan menghasilkan hidrogen sulfida, yaitu gas yang berbau seperti telur busuk dan beracun bagi hewan," kata Dominik Hülse, pemodel sistem UC Riverside Earth.

Saat fotosintesis laut berlangsung, mikroba dan tanaman yang membentuk dasar rantai makanan membusuk, mikroba lain dengan cepat mengonsumsi oksigen dan menyisakan sedikit oksigen untuk organisme yang lebih besar. Ketika akhirnya oksigen tidak ada, mikroba mengonsumsi sulfat yang kemudian mengeluarkan racun, berbau hidrogen sulfida, atau H2S, menciptakan kondisi yang lebih ekstrem yang disebut euxinia. Kondisi ini ditopang oleh pelepasan nutrisi selama dekomposisi, mendorong produksi lebih banyak bahan organik yang membantu mempertahankan siklus beracun dan bau ini.

"Penelitian kami menunjukkan bahwa seluruh lautan tidak euxinic. Kondisi ini dimulai di bagian kolom air yang lebih dalam. Ketika suhu meningkat, zona euxinic menjadi lebih besar, lebih beracun, dan naik ke kolom air ke lingkungan rak tempat sebagian besar hewan laut hidup, lalu meracuni mereka." kata Hülse.

Zona euxinic yang meluas ini dapat dideteksi oleh para peneliti melalui tanda kimia dalam sampel sedimen.

Penipisan oksigen adalah masalah yang terus berlanjut hingga saat ini dan pasti akan bertambah buruk di bawah perubahan iklim di masa depan. Perairan Euxinic dapat ditemukan di tempat-tempat seperti Saluran Dominguez sepanjang 16 mil di Los Angeles County, di mana kebakaran gudang September 2021 melepaskan etanol. Etanol membunuh vegetasi di saluran, yang membusuk dan dikonsumsi oleh mikroba. Mereka kemudian menghasilkan hidrogen sulfida pada tingkat beracun. Ribuan orang yang bernapas di sungai yang berbau busuk itu melaporkan mengalami muntah, diare, insomnia, pusing, sakit kepala, bersin, dan gejala lainnya.

Baca Juga: Bakteri Pemakan 'Kotoran' Berpotensi Selamatkan Karya Seni Terkenal

Mungkinkah letusan gunung berapi super di Siberia saat ini telah menjadi penyebab kepunahan massal 250 juta tahun yang lalu? (Martin Mergili )

Diagram mekanisme euxinia di Laut Canfield. (Wikipedia)

Pelajaran dari dunia kuno ini mungkin sangatlah penting untuk dapat memahami proses yang menantang lautan dan saluran air modern kita.

"Akan menjadi spekulatif untuk menempatkan peristiwa kepunahan massal kuno di planet saat ini," ujar Hülse.

"Namun, penelitian ini menunjukkan kepada kita bahwa respons laut terhadap konsentrasi karbon dioksida yang lebih tinggi di atmosfer mungkin diremehkan." pungkasnya.

Baca Juga: Bisakah Mikroba Berkomunikasi dengan Spesies Asing Seperti Alien?