Tuah Keramat Empat Raja

By , Jumat, 10 Juni 2016 | 19:00 WIB

Laut yang tenang di kawasan perairan Wawiyai membuat kami lupa waktu.  Hamparan pulau karang memanjakan mata kami.  Marten larut dalam kisah-kisah tentang petualangan Pin Tekik yang lantas melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Gurabesi.  Legenda Gurabesi lantas memasuki babak baru dimana ia dan pasukannya menguasai kesultanan Tidore di Maluku.

Suasana salah satu pantai di Raja Ampat. (Syafrizaldi)

Keempat Raja, lanjut Marten, lantas memiliki wilayah kekuasaan sendiri-sendiri.  Kalanamiyan mengendalikan kekuasaannya di pulau Nyan Yef di Wawiyai.  Raja Untusan menyeberang hingga ke pulau Salawati.  Sementara, Raja Kelimuri, lantaran konflik dengan saudara-saudaranya mengasingkan diri dan membentuk kerajaan di Pulau Seram.  Kelimuri bahkan bersumpah, ia dan keturunannya tak akan kembali ke Waigeo – pulau terbesar di gugusan pulau Raja Ampat – jika itu terjadi maka ia dan keturunannya itu akan mati.  Wilayah kekuasaan Klanagi War justru menarik minat saya menelisik, teluk Mayalibit.  Saya berjanji akan berkunjung ke teluk itu bersama dengan sahabat saya, Salmon Weyai. 

Saya membayangkan bagaimana sulitnya leluhur orang Raja Ampat bergelut dengan alam yang sedemikian liar.  Sebagian mereka melukiskan perjalanan hidup di dinding-dinding karang.  Tak mudah mencapai dinding itu, pengemudi perahu harus benar-benar hat-hati jika tak ingin terjebak di tengah perairan dangkal.

Sementara waktu beranjak sore saat saya harus kembali ke Waisai, pusat pemerintahan Raja Ampat. Mulanya Salmon agak ragu karena cuaca mendadak buruk.  Angin kecang tiba-tiba berubah menjadi hujan badai.  Namun jika tak kembali, kami terancam akan bermalam di jalan, itu artinya harus mencari tempat persinggahan yang menyediakan tempat menambat perahu jika tak mau terkatung-katung di tengah laut.

Mestinya saya ikut melafalkan yefbinok tepak be nabe sun wagiik saat pertama datang ke wilayah itu, permisi kami ingin berkunjung ke tempat ini.  Seperti yang diajarkan Onco saat pertama kali kami memasuki perairan Kali Raja.  Badai melemah ketika saya coba mengulang-ulang ucapan itu, kami pulang dengan selamat.

!break!

Cendrawasih merah menjadi salah satu burung yang banyak diminati pengunjung.  Saya mendatangi desa Saporkren untuk menyaksikan mereka menari dipagi hari, sehari sebelum kedatangan saya ke Kali Raja di pertengahan Mei 2016 yang terik.  Origenes Dimara menunggu saya di rumahnya yang sudah disulap menjadi penginapan sederhana.

Menyaksikan keragaman hayati di Papua. (Syafrizaldi)

Kami menaiki bukit rendah di belakang desa. Tak ada warga yang tinggal di lokasi itu, penduduk hanya menempati pinggiran pantai berpasir landai.  Origenes mulai memberikan kode lewat tangannya yang menyentuh bibir saat kami hamper tiba di puncak bukit. Jantung saya berdebar, ini kali pertama saya menyempatkan diri melihat langsung kawanan burung surga ini menari.

Origenes menunjuk salah satu pohon tinggi dimana Cendrawasih merah bertengger.  Saya tengah menyiapkan kamera, tapi tiba tiba kaki saya tersentuh sesuatu yang dingin. Moncong babi.  Sontak saya terkejut, untungnya tak sempat berteriak.

“Ah, Mandos.  Sana pergi!” bisik Origenes.  Mandos, seekor babi peliharaan Origenes yang kerap menemani para pengunjung.  Babi ini terlihat begitu jinak.  Dia telah menyusul perjalanan kami hingga ke puncak bukit.

Enam ekor Cendrawasih merah berkelebat dari satu pohon ke pohon lainnya.  Mereka menari dan mengibaskan bulu-bulunya.  Dua surai panjang menghias ekor, sementara badannya bewarna cokelat.  Paruhnya bewarna kuning tampak dari kejauhan.  Saya coba menggeser posisi agar dapat melihat lebih jelas.

Kami tersihir keindahan burung surga ini.  Tapi ranting pohon yang lebat menghalangi pemandangan, posisi kami berdiri berada di tanjakan yang agak curam.  Itu satu-satunya tempat bersembunyi jika tak mau kehilangan kesempatan berharga menyaksikan mereka menari.  Di belakang saya, Kakatua Merah tengah bertengger menunggu giliran ke cabang pohon yang sama.