“Bagaimana mereka bisa hidup tenang, kalau rencana pembuatan jalan jadi dilaksanakan,” bisik Origenes kesal.
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat memang sedang berencana membangun jalan lingkar Waigeo sepanjang lebih dari 200 kilometer. Membelah pulau besar itu dan menyekatnya kedalam beberapa bagian.
“Saya tak habis pikir, bagaimana mungkin akan dibangun ruas jalan raya lingkar yang mengitari pulau Waigeo? Sementara masyarakat telah terbiasa menggunakan transportasi air untuk bepergian. Jalan mungkin akan mempermudah akses, tapi untuk siapa? Saya takut pembangunan jalan justru berdampak buruk pada keragaman hayati,” papar Origenes.
Saya mengamini Origenes, sebagai pemandu wisata untuk pengamatan burung, pembukaan jalan tentu akan mempengaruhi habitat cendrawasih. Dengan demikian, peminat pengamatan burung tentulah pula akan jauh berkurang. Itu sama artinya menyerobot pendapatan, bukan hanya Origenes tapi juga pendapatan lain yang bersumber dari wisata pengamatan burung.
Menurut catatan Fauna dan Flora International, terdapat 173 jenis burung di Waigeo. 94 diantaranya adalah jenis burung yang dilindungi, termasuk 11 diantaranya jenis burung endemik. Origenes mengenal baik sebagian besar burung-burung itu. Dia sudah menjadi pemandu wisata sejak sekitar tahun 2000-an, jauh sebelum Raja Ampat dikenal seperti saat ini.
“Mereka (burung) semua akan terusik. Apa mau mengorbankan Mandos?” imbuh Origenes tersenyum.
Entah mengapa tiba-tiba badai datang saat saya hendak kembali ke Waisai. Petir menggelegar diangkasa. Teluk Mayalibit seperti penjara alam yang mungkin akan mengurung saya hingga esok. Untunglah, saya sudah berada di Pos Pengawasan Kawasan Konservasi Laut Teluk Mayalibit. Para sahabat menyediakan kopi sebagai perintang hari. Sore kami yang damai berteman hujan.
“Bisanya orang baru akan disambut cuaca begini. Tapi anehnya, perjalanan kita tadi bahkan disambut dengan paparan matahari dan langit yang biru bersih,” kata sahabat saya Salmon.
Kami baru saja kembali mengitari kawasan teluk yang telah dijadikan kawasan perlindungan alam itu. Sebuah tumpukan tulang-belulang manusia menarik saya memeriksa. Mereka menyebutnya pulau tengkorak. Selain belulang, pulau itu juga dipenuhi dengan peralatan makan seperti piring dan gelas.
Menurut pemandu kami, Demercis Gaman, pulau itu menjadi salah satu pulau pembuangan manusia yang mati dibunuh Sauwi Bok. Dikisahkan, Sauwi Bok adalah orang asli Teluk Mayalibit yang memiliki kemampuan batin yang hebat. Jika ada pengunjung dari jauh yang datang, Sauwi Bok paham apakah si pendatang berniat baik atau jahat. Celakalah mereka yang berniat jahat.
Kisah ini sesungguhnya mengingatkan saya akan Wawiyai. Dekat dengan Kali Raja, saya juga sempat menziarahi sebuah pulau yang penuh tulang belulang. Namun di Wawiyai kisahnya berbeda. Tulang belulang di Wawiyai dikisahkan sebagai sisa kekelaman Raja Ampat di masa lalu, ketika masyarakat masih berada dalam zaman kegelapan, zaman dimana belum ada agama.