Melalui perhimpunan para pejuang perempuan dalam PPPI, terjalin kesatuan semangat bagi para kaum perempuan untuk memperjuangkan haknya. Terilhami dari semangat perempuan dalam aktivisme pergerakan, diusung gagasan untuk menyelenggarakan kongres.
Salah satu bentuk lahirnya semangat pejuang perempuan, dibuktikan dengan terselenggaranya Kongres Perempuan Indonesia I, bertempat di Yogyakarta, Hindia-Belanda.
"Kongres ini diprakarsai oleh tiga orang tokoh wanita yakni: R.A. Soekonto dari Wanita Utomo, Nyi Hajar Dewantara dari Wanita Taman Siswa dan Sujatin dari Putri Indonesia," tulis Trimurtini.
Winingsari Trimurtini menulis dalam skripsinya berjudul Perkembangan Kongres Perempuan Indonesia Pertama Tahun 1928 di Yogyakarta, dipublikasikan oleh Universitas Negeri Yogyakarta, pada tahun 2015.
Kongres pertama di Yogyakarta itu, dimulai pada Sabtu malam 22-25 Desember 1928, dengan dihadiri lebih dari 1000 orang. "Tujuannya meningkatkan harkat dan martabat perempuan Indonesia menjadi perempuan yang maju," tambahnya.
Pada tahun 1929, PPPI berganti nama menjadi Perkoempoelan Istri Indonesia (PPPI). Pada tahun 1935 diadakan Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta. Kongres tersebut juga menetapkan fungsi utama perempuan sebagai ibu Bangsa.
"Perempuan Indonesia sebagai ibu Bangsa, berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi baru yang lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya," lanjutnya.
Baca Juga: Perempuan Nusantara dalam Lingkungan Patriarki Hindia Belanda
Pada tahun 1938, Kongres Perempuan Indonesia III digelar di Bandung. Hasilnya menyatakan bahwa tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu.
"Penetapan itu terjadi pada 16 Desember 1959, yang dikukuhkan dalam Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959, tentang hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur," terang tim penulis Kemdikbud.
Perjuangan kaum perempuan yang terhimpun dalam PII, kembali berganti nama pada 1946, menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Perhimpunan ini masih terus bertahan dan berkiprah sesuai aspirasi dan tuntutan zaman.
Hari Ibu yang secara kolektif disepakati dan disahkan oleh Presiden, tidak hanya bertujuan menghargai jasa-jasa perempuan sebagai seorang ibu, tetapi jasa perempuan secara menyeluruh.
"Perempuan secara menyeluruh, tidak hanya sebagai ibu, melainkan sebagai warga negara, warga masyarakat dan sebagai abdi Tuhan yang Maha Esa, serta sebagai pejuang dalam mengisi kemerdekaan melalui pembangunan nasional," jelas Dolorosa Sinaga, seniman pahat Indonesia dalam Disusi Publik.
Diskusi Publik dengan tajuk Toeti Heraty Sebagai Ibu Bangsa, yang diselenggarakan oleh BRIN dan Universitas Kristen Satya Wacana, pada tanggal 22 Desember 2021, dengan menghadirkan beberapa pembicara kenamaan.
Peringatan Hari Ibu memiliki maksud untuk senantiasa mengingatkan generasi muda tentang makna Hari Ibu. "Hari Ibu adalah bagian dari semangat humanisme," tambah Siti Musdah Mulia, Staf Ahli Menteri Agama bidang Hubungan Kerjasama Internasional.
Sebagaimana disebut oleh Siti Musdah Mulia, Hari Ibu adalah semangat humanisme. Momentum yang berupaya untuk menempatkan sosok perempuan pada kemerdekaan diri, hari yang memanusiakan manusia, terbebas dari diskriminasi dan kekerasan seksual.
"Melalui hari ibu, kami mengharapkan agar perempuan mendapatkan hak seluas-luasnya sebagai bagian dari warga bangsa yang aman, sehingga dapat turut serta memajukan Indonesia," tutup Siti Musdah Mulia.
Baca Juga: Sekolah Van Deventer, Jejak Lahirnya Guru-guru Perempuan di Surakarta