Fosil Sayap Burung Prasejarah Terjebak dalam Amber

By , Kamis, 30 Juni 2016 | 16:30 WIB

Konflik yang terjadi menyebabkan pertambangan dan penjualan amber Burma tidak memiliki regulasi yang jelas. Kebanyakan amber terjual pada konsumen asal Cina yang menggunakannya sebagai perhiasan maupun dekorasi pada ukiran.

Xing bersama tim risetnya mengumpulkan sampel fosil sayap untuk penelitian di sebuah pasar amber terkenal di Myitkyina, ibu kota Kachin.

Kurator zoologi invertebrata Museum of Natural History, Amerika, David Grimaldi mengungkapkan bahwa daya tarik amber Burma bagi para ilmuwan terletak pada isinya. Terdapat varietas paling besar hewan dan tumbuhan hidup  pada periode Cretaceous yang terkandung atau membatu dalam amber Burma.

“70 persen dari batu amber Burma tidak mengandung apapun, namun 30 persen lainnya memiliki keberagaman hayati yang fenomenal,” ujar Grimaldi. “Tidak pernah, level keberagaman seperti ini tidak pernah terprediksi oleh saya.”

 Beda Guna, Beda Nilai

Bagi para pembeli asal Cina, amber Burma biasanya digunakan sebagai perhiasan atau dekorasi ukiran. Sebelumnya, amber Burma akan mengalami pemotongan atau pemolesan. Hal tersebut dianggap akan mengurangi nilai berharga yang terkandung dalam amber Burma tersebut.

Namun bulu yang membatu dalam amber Burma memiliki nilai kelangkaan tinggi bagi para ilmuwan. Kecantikan yang dihasilkan dari pemotongan dan pemolesan diharapkan mampu memunculkan nilai aestetik pada fosil bulu burung prasejarah itu. Banyak pertimbangan yang dilakukan agar sebisa mungkin mampu mempertahankan keberadaan spesimen tersebut.