Dua fosil sayap yang telah membatu dalam batuan amber ini nampak sama seperti yang dimiliki burung-burung modern kini. Usia sayap tersebut terindikasi mencapai ratusan tahun.
Penelitian ini telah dipublikasikan pada 28 Juni untuk Nature Communication dan disumbangkan pada National Geographic Society’s Council. Dalam penelitian, temuan ini masuk dalam golongan Enantiornithes, kelompok dinosaurus terbang yang telah punah pada era Cretaceous.
Kejutan yang Menakjubkan
Fakta bahwa dinosaurus berbulu telah ada sejak tahun 1990an. Informasi yang kita dapatkan terkait bulu burung prasejarah, hingga saat ini berasal dari cetakan-cetakan bulu yang telah menjadi fosil.
Ada banyak kekurangan dari cetakan bulu yang telah menjadi fosil. Kekurangan tersebut terletak pada detil hingga informasi warna. Bulu yang ada di dalam batu amber tersebut juga belum mampu memberikan identifikasi hewan pemilik bulu tersebut.
Terdapat dua sampel baru seberat 1,6 dan 8,51 gram yang terdiri dari struktur tulang, area bulu, dan juga jaringan halus. Lida Xing dari University of Geoscience, China, mengungkapkan bahwa sampel ini bukanlah bulu yang terisolasi secara sederhana.
“Permasalahan besar yang kami hadapi dengan bulu adalah kami biasanya mendapatkan fragmen kecil atau bulu yang terisolasi dan kami tidak pernah yakin darimana mereka dihasilkan,” kata Ryan McKellar, kurator paleontologi invertebrata dari Royal Saskatchewan Museum, Canada. “Kami tidak pernah menemukan sesuatu seperti ini. Ini adalah kejutan yang menakjubkan”.
Bulu yang Mirip
Hasil X-ray Micro-CT menunjukkan bahwa sampel tersebut berasal dari seekor hewan muda. Hal tersebut terlihat dari struktur tulang dan proporsi sampel itu. Sejumlah karakteristik bulu burung menunjukkan adanya kemungkinan mereka berasal dari spesies yang sama.
Sampel memperlihatkan kulit, jari, dan baris bulu. Terdapat juga bulu asimetris utama untuk terbang, bulu kedua, dan yang tersembunyi. Semuanya terlihat memiliki kesamaan susunan dan struktur micro yang terdapat pada burung modern saat ini.
Jika melihatnya dengan mata telanjang, bulu burung itu memiliki warna hitam. Namun dengan menggunakan mikroskop, bulu sayap itu cenderung berwarna cokelat gelap.
!break!Sumber Fosil Justru di Area Bermasalah
Sumber fosil di amber Burma sebagian besar terletak di pertambangan desa Hukawng, kota Kachin. Desa tersebut berada di bawah kekuasan pasukan tentara kemerdekaan Kachin yang telah berkonflik dengan pemerintah lebih dari 50 tahun.
Konflik yang terjadi menyebabkan pertambangan dan penjualan amber Burma tidak memiliki regulasi yang jelas. Kebanyakan amber terjual pada konsumen asal Cina yang menggunakannya sebagai perhiasan maupun dekorasi pada ukiran.
Xing bersama tim risetnya mengumpulkan sampel fosil sayap untuk penelitian di sebuah pasar amber terkenal di Myitkyina, ibu kota Kachin.
Kurator zoologi invertebrata Museum of Natural History, Amerika, David Grimaldi mengungkapkan bahwa daya tarik amber Burma bagi para ilmuwan terletak pada isinya. Terdapat varietas paling besar hewan dan tumbuhan hidup pada periode Cretaceous yang terkandung atau membatu dalam amber Burma.
“70 persen dari batu amber Burma tidak mengandung apapun, namun 30 persen lainnya memiliki keberagaman hayati yang fenomenal,” ujar Grimaldi. “Tidak pernah, level keberagaman seperti ini tidak pernah terprediksi oleh saya.”
Beda Guna, Beda Nilai
Bagi para pembeli asal Cina, amber Burma biasanya digunakan sebagai perhiasan atau dekorasi ukiran. Sebelumnya, amber Burma akan mengalami pemotongan atau pemolesan. Hal tersebut dianggap akan mengurangi nilai berharga yang terkandung dalam amber Burma tersebut.
Namun bulu yang membatu dalam amber Burma memiliki nilai kelangkaan tinggi bagi para ilmuwan. Kecantikan yang dihasilkan dari pemotongan dan pemolesan diharapkan mampu memunculkan nilai aestetik pada fosil bulu burung prasejarah itu. Banyak pertimbangan yang dilakukan agar sebisa mungkin mampu mempertahankan keberadaan spesimen tersebut.