“Di sini pernah ada orang yang digigit buaya,” ujar seorang pria paruh baya di hadapan kami.
Sejurus kemudian ia melanjutkan, “Kejadiannya sudah lama, orang itu mabuk dan terjatuh ke air. Tapi sampai sekarang buaya masih sering muncul di sini, panjangnya bisa sampai enam meter.”
Glek. Saya menelan ludah. Ucapannya membuat saya agak gentar. Saya menatap perahu kayu yang bakal kami naiki, panjangnya sekitar tujuh meter. Bagaimana kalau tiba-tiba buaya muara membalikkan perahu itu? Seakan bisa membaca pikiran saya, lelaki itu berkata, “Tenang saja, kalau kita tidak ganggu, mereka juga tidak ganggu kita.”
Kami naik ke perahu. Lelaki itu kemudian memegang kemudi perahu. Ternyata, dialah nahkodanya. Saya memilih duduk di haluan kapal. “Duduk di belakang aja, Mbak. Nanti kena ombak,” ia menganjurkan. Saya mengiyakan, tetapi tak juga beringsut ke belakang.
Cipratan ombak yang cukup besar membuat saya megap-megap. Asin! Lalu saya teringat bahwa sedang berpuasa. Saya buru-buru mengelap bibir. "Sial! kalau gini terus, sampai ke darat bisa basah kuyup nih," pikir saya. Akhirnya saya menyerah, mundur ke tempat duduk perahu di bagian belakang.
Nyatanya, duduk di bagian belakang perahu tidak serta merta membuat saya lolos dari cipratan air laut. Apalagi ketika perahu kami harus membelah ombak yang cukup besar. Demi keselamatan kamera, saya berusaha setengah mati menahan keinginan memotret, sementara lansekap di depan mata dan langit yang biru cerah bersekongkol merobohkan pertahanan diri saya.
Beberapa saat lalu sebelum mengarungi lautan, Saya tak henti-hentinya berdecak kagum melihat sabana yang menghampar luas di sepanjang perjalanan. Mobil yang kami tumpangi melaju kencang di atas jalanan beraspal nan mulus. Di kanan kiri, padang rumput berwarna emas kecokelatan diselingi oleh perdu, pepohonan dan batang pohon yang meranggas daunnya, berjajar seakan tiada habis.
Terkadang tampak segerombolan sapi atau domba yang tengah merumput dengan khidmat, atau berleyeh-leyeh di bawah pohon, menekuk kaki mereka dan mulai memamah biak. Pemandangan itu seperti melemparkan saya ke tempat-tempat di Afrika yang gambarnya sering menghiasi majalah-majalah atau blog tentang perjalanan. Tapi ini bukanlah Afrika. Lansekap seperti ini bisa Anda temukan di Pulau Rote, di ujung selatan Indonesia.
Matahari bersinar terik. Panasnya bukan main. Angin padang rumput menyelinap melalui jendela mobil yang sengaja dibuka. Hawa panas turut menyusup. Cuaca seperti ini membuat tubuh lekas berkeringat—meski cepat pula hilang tersapu angin, dan membuat kerongkongan kering. Saat siang bolong di Rote, sebotol air mineral dingin terlihat seperti semangkuk es buah di mata orang yang tengah berpuasa Ramadan.!break!
Sekitar 45 menit kami disuguhi lansekap sabana, kini pemandangan berganti menjadi rumah-rumah penduduk. Kebanyakan rumah merupakan bangunan semi permanen. Berdinding batako di bagian depan, papan di bagian belakang dan beratap seng, namun ada pula rumah berdinding papan dengan beratapkan daun lontar. Di halaman-halaman rumah, ada banyak babi, kambing dan anjing yang berkeliaran. Kami memasuki Batutua, Ibukota Kecamatan Rote Barat Daya. Mobil terus melaju, membelah jalan desa menuju pesisir.
Mobil kami berhenti di depan sebuah rumah berdinding kayu. Seorang laki-laki paruh baya keluar dari rumah itu dan menyambut kami. Nugi, pengemudi mobil sekaligus pemandu kami memperkenalkannya: dialah Dahun, nahkoda kapal yang akan membawa kami ke Pulau Landu. Di pulau itu, terdapat desa paling selatan Indonesia, Desa Landu. Ke sanalah tujuan kami selanjutnya.
“Saya ini anggota PNS, bukan Pegawai Negeri Sipil, tapi Partai Nelayan Sejati.”
Dahun berbadan kekar, dengan kulit hitam legam akibat sering bercumbu dengan sinar Matahari Rote yang garang. Deretan gigi putih bersih di balik senyumnya yang menawan memancarkan kesan ramah dan bersahabat. Ia berdarah nelayan tulen. Ayah, kakek, dan kakek buyutnya semua nelayan. “Saya ini anggota PNS, bukan Pegawai Negeri Sipil, tapi Partai Nelayan Sejati,” kelakarnya.
Jadi, di sinilah kami sekarang. Di atas sebuah perahu kayu tak seberapa besar, terombang-ambing di lautan dengan ombak dari Samudera Hindia yang bergulung-gulung. Dahun menatap lautan di hadapannya. Lengan-lengannya yang berurat memegang kemudi dengan mantap. Tuhan telah menganugerahinya kemampuan berkawan dengan lautan. Ia memahami laut seperti Ia memahami dirinya sendiri. Sang nahkoda membawa perahu kami menari-nari di atas lautan dan meliuk-liuk bersama ombak.