Sekelumit Kisah dari Desa Terselatan Indonesia

By , Jumat, 1 Juli 2016 | 20:00 WIB

“Di sana dokternya ramah, perawatnya cantik-cantik. Lihat mereka tersenyum saja sudah sembuh sakitnya,” kenang Dahun sambil mesem-mesem. Kami tergelak mendengarnya.

Ikan yang sedang dijemur untuk diolah menjadi ikan asin. Ikan-ikan asin ini nantinya akan didistribusikan ke daerah-daerah sekitar NTT. (Lutfi Fauziah/National Geographic Traveler Indonesia)

Penjaganya yang sebagian besar dapat berbahasa Indonesia pun baik-baik. Mereka sebenarnya tahu segala akal bulus para tahanan untuk bisa keluar dari penjara selama sesaat. Bukannya marah, mereka hanya tersenyum-senyum melihat tingkah tahanan seperti Dahun.

“Di penjara sana itu enak. Kerja hanya makan tidur makan tidur. Tiap hari dapat gaji. Kami diberi rekening sendiri, kalau ada yang mau kirim uang untuk keluarganya, lewat penjaga,” katanya.

“Ooo, berarti bapak kirim uang juga ya buat keluarga,” tanya saya.

“Tidak,” cengirnya.  “uang itu saya simpan, waktu habis masa tahanan dan mau pulang, saya beli barang-barang yang saya mau. Buat jadi bukti kalau saya pernah ke Australia. Biar orang-orang kampung percaya.”

Dahun dan keluarganya bercengkerama di teras rumah neneknya di Desa Landu. Di desa ini, masyarakatnya mayoritas bekerja sebagai nelayan atau petani rumput laut. (Lutfi Fauziah/National Geographic Traveler Indonesia)

Fasilitas kesehatan yang mumpuni di penjara Australia membuat beberapa orang nekat sengaja melanggar perbatasan agar ditangkap oleh tentara Australia. Pernah, ada satu kapal yang memang sengaja berisikan tujuh orang sakit, berlayar melanggar batas wilayah Australia dan akhirnya ditangkap. Di penjara, mereka mendapatkan perawatan medis gratis sampai sembuh. “Sayang, satu orang meninggal karena sudah terlalu parah, tapi enam sisanya masih sehat sampai sekarang,” ujar Dahun.

Kami hanyut dalam cerita-cerita Dahun hingga tak sadar waktu berlalu begitu cepat. Matahari sudah bergulir ke barat ketika kami beranjak untuk kembali ke Rote. Sebelum ke perahu, Dahun mengajak kami mampir sejenak ke pantai dan berkeliling desa. Kali ini, penduduk mulai banyak terlihat. Sebagian tengah berkumpul dan bersantai di balai-balai rumah, atau duduk-duduk di makam-makam yang banyak terdapat di halaman.!break!

Karena pulau ini jarang didatangi wisatawan, kehadiran kami menjadi perhatian penduduk desa. Ibu-ibu yang tengah mengasuh anak-anaknya di halaman, tak henti-hentinya menatap saya. Agak grogi, saya menyapa mereka dengan ungkapan dalam bahasa setempat yang telah saya pelajari dari Dahun.

Aimisikia Dei—Saya lewat sini dulu,” sapa saya. Mereka tersenyum dan mempersilakan saya lewat.

Karena lidah saya tidak familiar dengan ungkapan itu, saya berkali-kali lupa dan terpaksa menyapa dalam Bahasa Indonesia. Tak apa, mereka tetap ramah dan minta difoto ketika melihat kamera saku yang saya genggam.

Waktu tempuh perjalanan pulang lebih lama karena Dahun memilihkan rute yang sedikit memutar dengan melewati hutan bakau. Setelah menjejakkan kaki ke daratan Rote, kami beristirahahat sejenak di halaman rumah Dahun sebelum kembali ke penginapan di Lobalain.

Sebelum kembali ke Pulau Rote, kami menyempatkan diri berkunjung ke salah satu pantai di Desa Landu. Suasana di pantai ini masih sangat alami. (Lutfi Fauziah/National Geographic Traveler Indonesia)

“Presiden Jokowi belum pernah ke Pulau Landu Ti,” celetuk Dahun di tengah-tengah perbincangan.

“Wah, kalau Bu Susi udah pernah belum?” tanya Manik.

“Belum juga. Hanya Pak SBY yang sudah pernah ke Pulau Ndana, tapi dia juga belum pernah ke Landu Ti,” ucap Dahun.

Jika memang pernyataan Dahun benar, bolehlah saya sedikit berbangga hati. Tidak ada yang menyangkal kehebatan ketiga orang penting di Indonesia itu. Tapi setidaknya, saya mengungguli ketiganya dalam satu hal: menginjakkan kaki di desa terselatan Indonesia lebih dulu dari mereka.