Adanya pengaruh dari Cina ke beberapa negara Asia Tenggara, memungkinkan penggunaan sabit, utamanya yang dilihat Reid di bagian Vietnam Utara, Thailand bagian tengah, dan Burma (Myanmar).
"Penggunaan sabit (mungkin) disebabkan oleh sistem penyebaran benih pada tanah genangan di lembah-lembah sungai ini, yang memberi kaum tani bentangan luas padi berbatang tinggi, sehingga memerlukan cara menuai yang paling cepat," imbuhnya.
Hampir di seluruh Semenanjung Malaya (orang-orang Thai dan Melayu), serta beberapa wilayah lainnya, ani-ani tetap populer meskipun penggunaan sabit sudah merambah di hampir seluruh Asia Tenggara.
"Orang-orang Vietnam Selatan yang telah mengetahui tentang adanya sabit dalam pertanian dan ladang, tetap menggunakan pisau kecil (ani-ani), bahkan hingga memasuki abad ke-19," terus Reid.
John Frederick Adolphus McNair dalam bukunya berjudul Perak and the Malays, terbitan 1878, menjelaskan tentang penggunaan ani-ani di Asia Tenggara hingga abad ke-19.
Ia menyebut bahwa para ahli etnografi abad ke-19, yang tampaknya bertanya-tanya, mengapa alat berupa ani-ani yang kurang efisien, malah terus digunakan hingga tahun 1800-an. Agaknya, mereka menghargai Dewi Padi yang lebih berkenan dengan ani-ani.
"Setidaknya ani-ani memiliki kelebihan yang sangat praktis, khususnya untuk padi-padi di wilayah perbukitan," tambah McNair.
Baca Juga: Para Petani Rangkap Peneliti, dan Kisahnya Menghadapi Perubahan Iklim
Melalui ani-ani, petani dapat memotong batang-batang pada yang masak saja. Dengan demikian, penggunaan ani-ani masih terus eksis digunakan hingga permulaan abad ke-19.
Penggunaan kerbau juga diandalkan di hampir seluruh Asia Tenggara. "Kerbau yang lamban tetap dijadikan hewan penghela, utamanya digunakan untuk membajak sawah serta mengangkut hasil bumi," imbuhnya.
Beberapa kawasan seperti Burma (Myanmar), Kamboja, Siam, Jawa, dan Bali, memiliki pengaruh India yang kental. Tak heran, jika adanya sapi putih yang diternakkan untuk memperoleh dagingnya, serta hewan pengangkut yang kadang juga digunakan di sawah.