Nationalgeographic.co.id—Banyak kota-kota di Pulau Jawa yang memiliki alun-alun yang identik dengan lapangan terbuka, tempat masyarakat berkumpul. Ternyata, aktivitas masyarakat di alun-alun telah terjadi sejak awal abad ke-20.
Umumnya, alun-alun di Jawa memiliki bentuk yang hampir seragam dengan bentuk persegi empat. Sejak berkembangnya pengaruh Majapahit, alun-alun memiliki ciri khas tersendiri, yakni letaknya berada di depan kompleks keraton dan memiliki pohon beringin di dalam atau sekitarnya.
Belum diketahui sejak kapan aktivitas masyarakat telah ramai berkerumun di bawah rindangnya pohon beringin alun-alun. Menurut catatan Johannes Raap, ia menemukan fenomena ramainya alun-alun pada tahun 1910.
Olivier Johannes Raap dalam bukunya yang berjudul Kota di Djawa Tempo Doeloe, yang diterbitkan pada 2015, menjelaskan kegemaran masyarakat beraktivitas di sekitar alun-alun.
Kaitannya dengan pohon beringin, salah satu alun-alun di Jawa yang memiliki sepasang beringin paling populer adalah Alun-alun Keraton Yogyakarta.
Baca Juga: Warung Angkringan: Saluran Ruang Ekspresi Publik dalam Masyarakat Jawa
Identiknya alun-alun dengan pohon beringin, digambarkan oleh Raap dalam tulisannya. "Sepasang pohon beringin di tengah alun-alun utara keraton Yogyakarta yang berukuran 150x150 meter," tulis Johannes Raap.
"Tradisi khas Yogyakarta, setahun sekali pohon beringin tersebut ditata dedaunannya, dengan dipangkas atas pertimbangan estetika," imbuhnya.
"Kedua pohon itu ditanam dikedua sisi garis lurus imajiner dari Gunung Merapi ke Laut Selatan, yang merupakan aksis untuk tata ruang alun-alun," lanjutnya lagi.
Contoh lainnya, alun-alun difungsikan sebagai pusat aktivitas dan keramaian penduduk setempat, ialah alun-alun di Regent (sebutan kabupaten oleh Raap) Semarang.
Parade militer biasanya diselenggarakan di alun-alun dengan jalur trem yang memotong pojok alun-alun. parade ini mengunang keramaian warga yang antusias menyaksikan meriahnya pawai.