Berbeda halnya dengan alun-alun lainnya, di sekitar alun-alun Bandung, di bawah rindangnya pohon beringin, masyarakat berkumpul, mengantre untuk membeli es. Di sana dijajakan depot es yang menyegarkan.
Lain juga halnya di alun-alun Regent Kediri, "bagian selatan alun-alun dibuat sebuah warung makan," ungkap Raap. Ia menuturkan bahwa pola beringin di alun-alun Kediri tak berada persis di tengah alun-alun, melainkan tersebar.
Baca Juga: Ingin Bernostalgia? Telisik Asal-usul Permainan Tradisional Anak-anak.
Warung makan atau restorantie dalam tulisan Raap, agaknya hanya melayani pada waktu siang hingga petang. Rindangnya pohon beringin yang tersebar di setiap sudut alun-alun, membuat udara tetap sejuk meski di bawah terik, membuat masyarakat dapat bersantai di sekitar alun-alun sembari menyantap hidangan khas.
Konsep restorantie di Kediri, ternyata berbeda dengan yang terdapat di Blitar, Keresidenan Malang. "Terdapat banyak warung makan lesehan dibuka di bawah langit terbuka," jelas Raap.
Bagian pikulan dijadikan meja sebagai alas untuk memajang berbagai aneka makanan dan minuman yang dihidangkan, serta sebagiannya lagi digunakan sebagai kompor dengan kayu bakar.
Sejatinya yang disaksikan Raap kala itu, adalah alun-alun yang telah direlokasi sejauh 1,5 kilometer dari alun-alun yang lama di daerah Pakunden sekitar tahun 1864 (sumber lain menyebut 1875), yang hancur akibat terpaan lahar Gunung Kelud.
Begitu juga dengan alun-alun Surabaya yang memiliki kawasan yang cukup luas, ditambah dengan adanya tugu peringatan jasa Günther von Bultzingslowenplein, mantan konsulat Jerman yang pernah bertugas di sana.
Lapangan terbuka menjadi aktivitas masyarakat sekitar yang memanfaatkan sebagai sarana rekreasi, olahraga, hingga jalan-jalan pagi, menandai ramai riuhnya alun-alun Surabaya di pagi hari. Masyarakat menyebutnya alun-alun Contong.