Ternyata Mengubah Isi Piring Dapat Menyelamatkan Kesehatan dan Bumi

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 1 Januari 2022 | 08:00 WIB
Tidak perlu menjadi seorang vegan atau vegetarian, perubahan kecil pada isi piring berpengaruh besar pada kesehatan dan bumi. (Anna Pelzer/Unsplash)

Nationalgeographic.co.id - Makanan yang kita makan setiap hari membuat kita tetap hidup. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa makanan juga menimbulkan masalah kesehatan dan lingkungan yang besar. Seperti penyakit jantung, emisi karbon, degradasi tanah, atau polusi.

Sebuah studi menemukan bahwa perubahan kecil dalam pilihan makanan dapat memiliki manfaat besar bagi kesehatan dan bumi.

Sebagian makanan dengan beban kesehatan tinggi juga memiliki biaya lingkungan tinggi. Seperti daging olahan atau daging merah. Menurut studi tersebut, dengan mengganti 10 persen asupan kalori harian dapat mengurangi jejak lingkungan berbasis makanan sebesar 30 persen.

“Berita baiknya, makanan yang lebih sehat dan lebih bergizi cenderung lebih ramah lingkungan,” kata Michael Clark, peneliti sistem pangan di Universitas Oxford.

Produksi makanan menghasilkan sekitar seperlima hingga sepertiga dari semua emisi gas rumah kaca tahunan secara global. Ini termasuk kegiatan menanam, mengemas, memindahkan, memasak, dan pada akhirnya membuang makanan tersebut.

Di Amerika Serikat, makanan merupakan penyebab emisi gas rumah kaca yang sama besarnya dengan listrik. Produksi pangan bertanggung jawab atas masalah kuantitas dan kualitas air. Industri ini juga sering kali membutuhkan herbisida dan pestisida yang membahayakan keanekaragaman hayati. Juga menyebabkan hilangnya hutan dan lahan liar ketika lahan dikonversi menjadi pertanian.

Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim pada Pasokan Produksi Budidaya Makanan Laut 

“Dampaknya sangat besar,” kata Olivier Jolliet, seorang ilmuwan lingkungan di University of Michigan. Ia menegaskan, setiap orang harus mengatasi krisis kesehatan dan lingkungan, baik secara nasional atau global.

Untuk mempelajari cara mengurangi dampak negatifnya, para peneliti harus menilai kerusakan yang terkait dengan makanan. Akan tetapi mencari tahu dari mana apel berasal, apalagi dampaknya terhadap bumi, menjadi pertanyaan kompleks seiring dengan berkembangnya sistem pangan global.

Sebagai contoh, peneliti di Stockholm Environmental Institute membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengungkap rantai pasokan tanaman seperti kakao dan kopi. Bahkan jika mereka berasal dari satu negara.

Jadi selama beberapa dekade terakhir, para ilmuwan mengembangkan cara melakukan "analisis siklus hidup" untuk makanan tertentu. Ini memperhitungkan semua langkah dari pertanian ke penyimpanan dan menetapkan dampak lingkungannya. Seperti perkiraan emisi gas rumah kaca atau volume air yang dibutuhkan produksinya.

Secara bersamaan, ahli epidemiologi dan ilmuwan kesehatan melakukan analisis serupa untuk tubuh manusia. Mereka memeriksa hubungan antara makanan dan kesehatan. Juga mencari tahu bagaimana diet yang berbeda dan bahkan makanan tertentu dapat memengaruhi risiko penyakit, kesehatan, atau harapan hidup.

Selama bertahun-tahun, para peneliti dan pemerintah menganggap masalah pada lingkungan dan kesehatan itu terpisah.

Tetapi menjadi semakin jelas bahwa apa yang kita makan berhubungan erat dengan kesehatan planet, kata Sarah Reinhardt, seorang ahli sistem pangan dan kesehatan dari Union of Concerned Scientists.

Permintaan global akan daging sapi, misalnya, telah meningkatkan permintaan protein kedelai untuk pakan ternak. Menanggapi permintaan itu, sebagian besar Amazon ditebangi untuk memberi ruang bagi pertanian kedelai dan ternak baru. Ini mempercepat hilangnya hutan penyerap karbon dan keanekaragaman hayati.

“Pertanian adalah bagian besar dari teka-teki iklim. Pertanian, makanan, dan pola makan semuanya terkait erat,” kata Reinhardt.

Baca Juga: Tanam Pohon Bantu Perangi Perubahan Iklim, Tetapi Butuh Miliaran Bibit 

Jolliet dan rekan-rekannya membangun sebuah sistem yang menggabungkan kedua masalah tersebut. Mereka melihat dampak kesehatan dan lingkungan dari makanan tertentu.

Tidak ada yang sangat mengejutkan muncul dalam analisis ini. Para ahli epidemiologi mengetahui bahwa daging olahan, daging merah, dan makanan olahan tinggi gula meningkatkan risiko penyakit. Namun dengan merinci efek potensial dari begitu banyak produk, peneliti dapat memberi peringkat dan mengurutkannya. Dari sana mereka menciptakan pemahaman terperinci tentang bagaimana kebiasaan tertentu dapat memengaruhi konsumen.

Secara paralel, tim mengevaluasi dampak lingkungan dari ribuan makanan tersebut. Misalnya biaya karbon, sistem air, hingga polusi.

Ketika para peneliti melihat kedua masalah sekaligus, sebuah pola yang menggembirakan muncul. Banyak makanan yang baik untuk kesehatan manusia juga relatif ramah lingkungan. Tidak terlalu mengejutkan, kacang-kacangan, sayuran yang tidak ditanam di rumah kaca dan beberapa makanan laut yang dibudidayakan secara berkelanjutan. Makanan tersebut masuk dalam zona “hijau”.

Makanan zona “kuning”, seperti susu dan yogurt, makanan berbasis telur, dan sayuran yang ditanam di rumah kaca menyeimbangkan biaya kesehatan dan lingkungan.

Makanan zona “merah”, yang meliputi daging sapi, daging olahan, babi, dan domba, memiliki biaya kesehatan dan lingkungan yang tinggi. Satu porsi sup daging sapi, menurut perhitungan mereka, memiliki biaya karbon untuk mengemudi sekitar 22,5 km.

Kita tidak bisa berhenti makan, jadi apa yang harus kita lakukan?

Untuk beberapa tantangan iklim, ada perbaikan yang relatif mudah. Misalnya, sumber energi terbarukan dapat menggantikan sebagian besar energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan gedung, mobil, dan lainnya.

Tidak ada pengganti makanan, tetapi mengubah apa yang kita makan adalah mungkin. Jika semua orang di bumi mengonsumsi sayuran, emisi gas rumah kaca dari sistem pangan dapat berkurang lebih dari setengahnya.

Baca Juga: Kumpulan Penelitian Sepakat Bahwa Manusia Biang Kerok Perubahan Iklim

Dengan mengubah apa yang dimakan, kita dapat mencegah sekitar 1 derajat Celcius pemanasan di masa depan.

Yang ingin ditunjukkan oleh para ilmuwan adalah kita tidak perlu melakukan perubahan secara drastis. Bahkan dengan perubahan kecil pada isi piring dapat memberikan efek yang sangat besar bagi bumi.

Meski pola makan vegetarian sudah umum di Amerika Serikat dan Eropa, pilihan makanan bersifat pribadi. Ini berkaitan dengan budaya, agama, emosi, serta masalah ekonomi.

“Daripada mendikte, lebih baik mencoba memberi pilihan,” kata Naglaa El-Abbadi, peneliti makanan, nutrisi, dan lingkungan di Tufts University.

Melalui penelitian ini, diharapkan setiap orang dapat membuat pilihan yang selaras dengan kebutuhan dan nilai-nilai mereka. Secara keseluruhan, pilihan-pilihan itu dapat bermanfaat bagi kesehatan manusia dan bumi.

"Kita semua tidak harus menjadi vegan dalam semalam," kata Clark. “Perubahan kecil bisa berdampak besar.”