Menilik Lebih dalam Tradisi Mardoton, Budaya Tangkap Ikan Warisan Leluhur di Danau Toba

By Fathia Yasmine, Rabu, 29 Desember 2021 | 18:11 WIB
Para nelayan memancing di Danau Toba (Dok. KKP)

Nationalgeographic.co.id – Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan. Dengan kondisi geografis yang strategis dan dikelilingi perairan, Indonesia jugakaya akan sumber daya alam dan lautan. 

Bahkan, sebagian masyarakat Indonesia pun masih mengandalkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Salah satu profesi yang lekat kaitannya dengan alam dan laut adalah nelayan. Adanya sumber daya alam berupa lautan dan danau, membuat masyarakat sekitar menggantungkan hidup mereka dari tangkapan ikan setiap harinya.

Ironisnya, tingginya permintaan pasar terhadap komoditas ikan memicu terjadinya eksploitasi besar-besaran. Fenomena ini perlahan mengancam keseimbangan dan habitat sumber daya ikan.

Baca Juga: Temuan Terbaru: Yodium dalam Debu Gurun dapat Menghancurkan Ozon

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bahkan menyatakan bahwa kerusakan sumber daya ikan tidak hanya terjadi di lautan, tapi juga di perairan umum daratan seperti danau.

Selain eksploitasi, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan pun disebut sebagai dalang dari kelangkaan sumber daya ikan hingga masuknya spesies asing sebagai predator sumber daya ikan.

Kerusakan sumber daya ikan memang baru dirasakan dampaknya dalam waktu yang panjang. Meski demikian, dampaknya kini juga mulai dirasakan oleh nelayan tradisional di kawasan Danau Toba, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.

Kehidupan yang dirasakan nelayan saat ini, tidak semanis keindahan dan panorama Danau Toba. Dalam kurun waktu 15 tahun belakang, nasib para nelayan kian terpuruk.

Baca Juga: Alhazen, Sosok Ilmuwan yang Namanya Abadi di Bulan dan Asteroid

Dikutip dari pemberitaan Tribunnews, Minggu (12/1/2020), pemerintah Kabupaten Samosir mendapat informasi bahwa sumber daya ikan di danau kian menipis akibat munculnya ikan predator di area danau.

Ikan yang terancam punah diketahui adalah ikan jenis pora-pora dan mujair. Tidak hanya itu, benih ikan nila dan mujair yang disebar oleh dinas pertanian setempat juga seolah hilang ditelan bumi.

Selain disebabkan oleh ikan predator, kelangkaan sumber daya ikan juga disinyalir disebabkan oleh adanya penurunan kualitas air, termasuk kontribusi limbah domestik di Danau Toba. Alhasil, kenangan menangkap ikan berkeranjang-keranjang pada masa lalu, tinggal cerita.

Untuk menanggulangi kelangkaan sumber daya ikan, masyarakat sekitar Danau Toba secara rutin menggelar tradisi Mardoton. Budaya ini merupakan cara menangkap ikan yang dilakukan para leluhur sejak puluhan tahun lalu.

Baca Juga: Seberapa Banyak Olahraga yang Paling Baik untuk Cegah Hipertensi?

Tradisi Mardoton dilakukan setiap tahun pada Bulan Sipaha Sada atau bulan pertama pada Penanggalan Kalender Batak. Salah satu desa yang masih memegang tradisi ini adalah Desa Tuktuk Siadong di Kabupaten Samosir.

Lewat tradisi Mardoton, masyarakat tidak menggunakan jaring kawat tetapi menggunakan "doton" atau jaring berbahan kain untuk menangkap ikan. Untuk menjaga keseimbangan, doton umumnya memiliki ukuran jaring yang lebih besar.

Meski begitu, membuat doton tidak bisa dilakukan sembarangan. Terdapat aturan khusus dan hitung-hitungan tepat dalam membuat doton. Dengan begitu, benda ini mampu menghasilkan tangkapan ikan yang baik.

Penggunaan doton juga memiliki kaidah tersendiri. Ketika menebar doton, masyarakat harus menyiapkan pelampung atau “ramo”.

Baca Juga: 15 Temuan Memukau tahun 2021, Cadas Sulawesi Selatan Salah Satunya

Jarak ramo pertama dengan ramo kedua harus dihitung berdasarkan ketentuan tertentu. Hal ini bertujuan agar doton mampu menangkap ikan tanpa mencekik sehingga ikan bisa ditangkap dalam keadaan hidup.

Sebelum Mardoton dilakukan, masyarakat harus menurunkan solu atau perahu ke Danau Toba sebelum dipakai menangkap ikan. Solu berasal dari potongan kayu yang diberi papan tambahan yang diikat dengan paku payung.

Kemudian, masyarakat Danau Toba juga harus melakukan ritual adat Batak bernama "Pasahat Itak Putih Tu Namboru Saniang Naga" dan "Poda Patuat Solu" sebagai ucapan rasa syukur.

Sebagai bentuk dukungan terhadap pelestarian Tradisi Mardoton, National Geographic Indonesia bersama dengan KKP, berinisiatif membuat dokumentasi bertajuk Ekspedisi Tradisi “Mardoton” di Danau Toba.

Baca Juga: Senyum Sinis Joker yang Menyeramkan Berasal dari Tanaman Beracun Ini

Ekspedisi dilakukan selama delapan hari, yakni mulai 8 November – 15 November 2021. Dalam dokumentasi tersebut, National Geographic Indonesia melihat bagaimana cara memilih kayu dan membuat solu, hingga membahas asal usul Tradisi Mardoton di Danau Toba.

Untuk melihat lebih dekat proses pembuatan Solu hingga sejarah tradisi Mardonton, Anda dapat menyimak video dokumentasi berikut ini.