Antivaksin Abad ke-18: Bayangkan Anak yang Divaksin Berubah Jadi Sapi

By Sysilia Tanhati, Minggu, 2 Januari 2022 | 14:00 WIB
Dalam karikatur bengis, James Gillray memainkan ketakutan masyarakat dengan mengejek klinik rumah sakit yang penuh sesak. (James Gillray/Library of Congress, Prints & Photographs Division)

Kemarahan itu diperparah oleh perbedaan pendapat atas penyebab cacar. Apakah kuman tertentu bertanggung jawab atau apakah penyakit berasal dari racun di udara? Para reformis setuju bahwa daerah kumuh yang kotor dan penuh sesak perlu dibersihkan. Ini seakan menyatakan bahwa orang-orang miskin bersalah karena hidup tidak berdaya. Dan menyebarkan penyakit melalui kegagalan mereka untuk menjaga diri mereka bersih dan bergizi baik.

Baca Juga: Sains Singkap Mumi Anak-anak yang Menjadi Korban Virus Cacar Tertua

Virus terlalu kecil untuk dideteksi bahkan oleh mikroskop terbaik saat itu. Sehingga para skeptis mencela dokter sebagai pembuat ketakutan. Antivaksin merancang berbagai untaian retorika kotak sabun persuasif. Haruskah orang Inggris yang lahir dengan kehendak bebas tunduk pada keinginan profesi medis? Apakah vaksinasi hanyalah taktik lain bagi kelas atas untuk menguasai kelompok pekerja? Bagaimanapun, apakah ada gunanya membelanjakan uang publik yang berharga untuk orang miskin?

Tahun 1898, sebuah klausul mengizinkan orang tua untuk menyatakan diri sebagai ‘penentang sadar’ dan menarik anak mereka dari program nasional.

Kelompok kelas menengah bahwa sikap pemerintah akan mendorong cacar untuk merusak negara. Ketika populasi berkembang dan masyarakat menjadi lebih demokratis, ketakutan tentang kemerosotan pribadi dan nasional meliputi Eropa.

Anti-vaksinasi membangkitkan simpati chauvinisme dengan menciptakan slogan-slogan agresif. Slogan ini menekankan polusi dan kontaminasi yang akan memusnahkan ras Anglo-Saxon.

Dalam upaya sia-sia untuk memuaskan semua orang, pemerintah mendorong melalui undang-undang kompromi yang memperburuk situasi. Agar memenuhi syarat untuk pengecualian, orang tua harus meyakinkan hakim bahwa mereka 'secara sadar' percaya vaksinasi akan merusak kesehatan anak.

Penentang segera menunjukkan bahwa kekuatan keyakinan tidak berwujud dan tidak mungkin diukur. Aplikasi sering ditolak mentah-mentah. Ini memperburuk kebencian yang ada di antara orang-orang kelas bawah, yang menganggap vaksinasi sebagai bentuk lain dari penindasan.

Dari sisi gender, muncul perdebatan hukum tentang apakah ibu memiliki hak untuk mendapatkan sertifikat. Pada tahun 1908 pemerintah setuju bahwa perempuan dapat membuat keputusan yang bertanggung jawab sendiri.

Namun memilih keluar menjadi lebih mudah dan banyak bayi tetap tidak divaksinasi. Ini bukan langkah positif untuk kesehatan fisik bangsa, tetapi langkah kecil menuju kesetaraan gender dan kelas. Dan ketika perang pecah pada tahun 1914, istilah 'penolak zadar' mendapat resonansi yang berbeda.

Bahkan sampai vaksin COVID-19 ditemukan, ‘suara-suara’ dari antivaksin pun masih terdengar.