Antivaksin Abad ke-18: Bayangkan Anak yang Divaksin Berubah Jadi Sapi

By Sysilia Tanhati, Minggu, 2 Januari 2022 | 14:00 WIB
Dalam karikatur bengis, James Gillray memainkan ketakutan masyarakat dengan mengejek klinik rumah sakit yang penuh sesak. (James Gillray/Library of Congress, Prints & Photographs Division)

Nationalgeographic.co.id - Protes anti-vaksinasi bukanlah hal baru. Edward Jenner memperkenalkan vaksin cacar pada akhir abad ke-18. Ia kemudian dicemooh dan dianggap sebagai dukun yang mencoba menghasilkan uang dengan cepat. Saingan yang iri dengan cepat menunjukkan kurangnya kualifikasi profesionalnya. Sementara seorang satiris membayangkan anak-anaknya berubah menjadi sapi setelah divaksinasi.

Teknik Jenner terdengar aneh dan program pengujiannya tampak asal-asalan. Mengetahui bahwa pemerah susu menjadi kebal terhadap cacar setelah terkena cacar sapi, ia memulai eksperimen yang tidak lazim.

Pertama, dia menyuntik putra tukang kebunnya dengan getah bening yang diambil dari lepuh cacar sapi dari seorang wanita. Dua bulan kemudian, ia dengan sengaja membuat bocah tersebut terkena cacar. Bocah itu tetap sehat, Jenner pun siap untuk meluncurkan prosedur barunya.

Dokter sudah mempraktikkan variolasi, penawar Turki yang diimpor oleh Mary Wortley Montagu. Penawar ini menginduksi bentuk penyakit ringan untuk merangsang resistensi. Berisiko dan tidak menyenangkan—tetapi biasanya berhasil.

Sebaliknya, rekomendasi kontra-intuitif Jenner adalah untuk mengontaminasi tubuh dengan materi dari makhluk yang lebih rendah dari hierarki Tuhan. Kecurigaan ini dikonfirmasi ketika pasien bereaksi buruk, mungkin karena kebersihan medis yang buruk.

Baca Juga: Butuh Booster Vaksin Untuk Menangkal Serangan Omicron yang Parah 

Dalam propaganda anti-vaksinasinya, Dr. Rowley dari Oxford menunjukkan seorang anak laki-laki dengan kelenjar yang sangat bengkak. Ia mengatakan bahwa wajah anak itu tampak seperti sapi.

Dalam karikatur bengis, James Gillray memainkan ketakutan masyarakat dengan mengejek klinik rumah sakit yang penuh sesak. Dengan Jenner tampak menonjol di tengah karikatur. Ia digambarkan sedang membawa instrumen logam berduri yang digunakan untuk menggores kulit pasien. Di sebelah kanannya berdiri seorang anak laki-laki yang lusuh memegang ember bertuliskan 'Vaksin dari Sapi’. Di sisi lain tampak seorang wanita yang ketakutan akan vaksin. Di atasnya, ada gambar yang mengacu pada kisah alkitabiah tentang Harun yang mendorong orang Israel untuk menyembah anak lembu emas. Di sebelah kanan, seorang wanita hamil sedang memuntahkan seekor sapi kecil. Ia dikelilingi oleh orang-orang dengan tumor mirip sapi yang tumbuh dari wajah mereka.

Penolakan terhadap Jenner perlahan memudar, perdebatan kembali muncul di tahun 1853. Saat itu pemerintah mewajibkan untuk memvaksinasi semua bayi yang baru lahir. Apa yang terdengar seperti tindakan kesehatan yang masuk akal terbukti sangat kontroversial, memicu kerusuhan dan demonstrasi. Antagonis dari kubu yang berlawanan berselisih tentang dua masalah utama: risiko dan manfaat klinis, dan hak negara untuk mendikte tindakan individu.

Para antivaksin menyuarakan beberapa argumen yang kuat. Prosedurnya panjang, menyakitkan dan terkadang mengancam jiwa. Praktisi membuat luka di lengan bayi dan mengoleskan getah bening. Delapan hari kemudian, getah bening yang baru diambil dari lepuhan bayi. Lalu didaur ulang untuk merawat pasien kecil yang mengantre.

Orang tua mungkin akan dengan senang hati memberikan bayinya untuk mendapatkan vaksinasi jika yakin akan hasilnya. Namun saat itu tidak ada bukti yang tak terbantahkan bahwa vaksinasi menjamin perlindungan.

Bagi mereka, memasukkan benda asing mengancam kemurnian yang diberikan Tuhan kepada bayi yang tidak bersalah. Selain keberatan vaksin mencemari bayi dengan bahan hewani, mereka bersikeras bahwa ini dapat menimbulkan infeksi menular.

Kemarahan itu diperparah oleh perbedaan pendapat atas penyebab cacar. Apakah kuman tertentu bertanggung jawab atau apakah penyakit berasal dari racun di udara? Para reformis setuju bahwa daerah kumuh yang kotor dan penuh sesak perlu dibersihkan. Ini seakan menyatakan bahwa orang-orang miskin bersalah karena hidup tidak berdaya. Dan menyebarkan penyakit melalui kegagalan mereka untuk menjaga diri mereka bersih dan bergizi baik.

Baca Juga: Sains Singkap Mumi Anak-anak yang Menjadi Korban Virus Cacar Tertua

Virus terlalu kecil untuk dideteksi bahkan oleh mikroskop terbaik saat itu. Sehingga para skeptis mencela dokter sebagai pembuat ketakutan. Antivaksin merancang berbagai untaian retorika kotak sabun persuasif. Haruskah orang Inggris yang lahir dengan kehendak bebas tunduk pada keinginan profesi medis? Apakah vaksinasi hanyalah taktik lain bagi kelas atas untuk menguasai kelompok pekerja? Bagaimanapun, apakah ada gunanya membelanjakan uang publik yang berharga untuk orang miskin?

Tahun 1898, sebuah klausul mengizinkan orang tua untuk menyatakan diri sebagai ‘penentang sadar’ dan menarik anak mereka dari program nasional.

Kelompok kelas menengah bahwa sikap pemerintah akan mendorong cacar untuk merusak negara. Ketika populasi berkembang dan masyarakat menjadi lebih demokratis, ketakutan tentang kemerosotan pribadi dan nasional meliputi Eropa.

Anti-vaksinasi membangkitkan simpati chauvinisme dengan menciptakan slogan-slogan agresif. Slogan ini menekankan polusi dan kontaminasi yang akan memusnahkan ras Anglo-Saxon.

Dalam upaya sia-sia untuk memuaskan semua orang, pemerintah mendorong melalui undang-undang kompromi yang memperburuk situasi. Agar memenuhi syarat untuk pengecualian, orang tua harus meyakinkan hakim bahwa mereka 'secara sadar' percaya vaksinasi akan merusak kesehatan anak.

Penentang segera menunjukkan bahwa kekuatan keyakinan tidak berwujud dan tidak mungkin diukur. Aplikasi sering ditolak mentah-mentah. Ini memperburuk kebencian yang ada di antara orang-orang kelas bawah, yang menganggap vaksinasi sebagai bentuk lain dari penindasan.

Dari sisi gender, muncul perdebatan hukum tentang apakah ibu memiliki hak untuk mendapatkan sertifikat. Pada tahun 1908 pemerintah setuju bahwa perempuan dapat membuat keputusan yang bertanggung jawab sendiri.

Namun memilih keluar menjadi lebih mudah dan banyak bayi tetap tidak divaksinasi. Ini bukan langkah positif untuk kesehatan fisik bangsa, tetapi langkah kecil menuju kesetaraan gender dan kelas. Dan ketika perang pecah pada tahun 1914, istilah 'penolak zadar' mendapat resonansi yang berbeda.

Bahkan sampai vaksin COVID-19 ditemukan, ‘suara-suara’ dari antivaksin pun masih terdengar.