Berbanding terbalik dengan kaum elite bangsawan kaya, penduduk setempat dan rakyat jelata sangat mumpuni dalam membuat sandang sendiri. "Keahlian bertenun ditunjukan bangsa Austronesia, mengingat kebanyakan istilah tenun-menenun lahir dari bangsanya," ungkapnya.
Penduduk setempat mulai menanam serat-serat kayu yang dapat digunakan untuk bahan pembuatan pakaian yang mereka tenun secara mandiri, jauh sebelum abad ke-16. Selain serat kayu, kapas juga merupakan hasil pertanian yang cukup besar di kawasan Asia Tenggara.
Agaknya, kapas sudah diimpor dari Cina sejak awal abad ke-7 di Vietnam, lalu dibudi daya agar terus berkembang di Asia Tenggara. Beberapa hasil panennya digunakan penduduk setempat sebagai bahan utama untuk membuat pakaian.
Baca Juga: Ternyata, Perempuan di Masa Majapahit Lebih Bebas Berekspresi
Selama 1.000 tahun kemudian, kapas mulai menyebar ke beberapa wilayah Asia Tenggara lainnya, bersama dengan benang, sampai ke kawasan Luzon (Filipina) hingga ke Jawa. Diduga, Kamboja melakukan perdagangan hingga ke Jawa pada tahun 1600-an.
Sebagaimana yang terjadi di Malaya (kecuali Kelantan), mereka menanam kapas yang sering gagal panen. Hal itu membuat mereka lebih banyak mengimpor sandang dari Cina dan India.
Setelah sampai hingga ke Jawa dan beberapa wilayah Kepulauan Nusantara lainnya, muncul daerah-daerah yang memanen kapas sebagai komoditas utamanya, seperti Jawa Timur dan Bali.