Siapa Sangka, Makanan di Piring Kita Menyumbang Jejak Karbon?

By Fikri Muhammad, Selasa, 1 Februari 2022 | 07:00 WIB
Siapa kira makanan bertanggung jawab atas sekitar 26% emisi gas rumah kaca global. (Freepik)

Nationalgeographic.co.id—Orang-orang di seluruh dunia menjadi semakin khawatir soal krisis iklim. Bahkan melihatnya sebagai salahsatu ancaman utama bagi negaranya. Ketika datang untuk mengatasi itu, fokusnya cenderung pada solusi energi bersih. Memang tidak salah, tapi sistem pangan global, meliputi produksi, proses pascapertanian, dan distribusi juga jadi kontributor emisi karbon

Siapa kira makanan bertanggung jawab atas sekitar 26% emisi gas rumah kaca global. Sementara yang bukan makanan sebesar 74% dari 52.3 juta ton emisi global setara karbon dioksida, menurut penjabaran Hannah Richie, founder Our World in Data mengutip studi Reducing Food’s Environmental Impacts Through Producers and Consumers.

Peternakan & perikanan menyumbang 31% dari emisi makanan, produksi tanaman menyumbang 27% dari emisi makanan, penggunaan lahan menyumbang 24% dari emisi makanan, rantai pasokan menyumbang 18% dari emisi makanan.

Ternak, berkontribusi terhadap emisi dalam beberapa cara. Ternak ruminansia, terutama sapi, menghasilkan metana melalui proses pencernaan mereka. Pengelolaan kotoran ternak, pengelolaan padang rumput, dan konsumsi bahan bakar dari kapal penangkap ikan juga termasuk dalam kategori ini. 

Sapi adalah ruminansia. Maksudnya, bagian dari sistem pencernaannya (rumen) dirancang untuk memfermentasi makanan bernutrisi rendah seperti rumput dan daun. Hal ini berisi beragam mikroba yang membantu mereka mengekstrak nutrisi sebanyak mungkin dari makanan mereka. Sayang, beberapa mikroba ini menghasilkan metana yang kemudian dilepaskan dari rumen. Di sini, Mette Nielsen, seorang profesor ilmu hewan di Universitas Aarhus berdalih.

"Bukan sapi yang menghasilkan metana, itu mikroorganisme yang disebut Archaea," katanya kepada BBC. "Jadi jika kita bisa memblokir proses ini dan membujuk Archaea untuk tidak menghasilkan metana, pada dasarnya kita akan memiliki sapi yang netral terhadap iklim."

Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa meninggalkan peternakan sapi merupakan cara terbaik untuk mengatasi krisis iklim. Tetapi, itu bukan solusi yang masuk akal. Nielsen dan peneliti lainnya lebih tertarik pada hal yang menghambat metana. Seperti rumput laut Asparagopsis di Australia yang mengandung senyawa bernama bromoform. Bila dimakan 

oleh sapi dapat mengurangi emisi metana hingga 98%. Tapi yang jadi pertanyaan apakah sapi menyukai rasa bromoform? Dalam beberapa eksperimen, sapi mengurangi jumlah makan mereka setelah rumput laut dimasukkan ke dalam makanannya. 

Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa meninggalkan peternakan sapi merupakan cara terbaik untuk mengatasi krisis iklim. Tetapi, itu bukan solusi yang masuk akal (Donny Fernando)

21% emisi makanan berasal dari produksi tanaman dan 6% berasal dari produksi pakan ternak. Mereka adalah emisi langsung yang dihasilkan dari produksi pertanian, termasuk unsur seperti pelepasan dinitrogen oksida dari pupuk dan pupuk kandang, emisi metana dari produksi beras, dan karbon dioksida dari mesin pertanian. 

Ekspansi pertanian juga menghasilkan konversi hutan, padang rumput, dan ‘penyerap’ karbon lainnya yang menghasilkan emisi karbon dioksida. Perubahan penggunaan lahan ini menyumbang 24% emisi karbon.

Sementara itu, pemrosesan makanan, dari pertanian ke produk akhir, transportasi, pengemasan, dan eceran, semuanya memerlukan energi dan input sumber daya. Emisi limbah makanan tergolong besar, 3,3 miliar ton CO2eq dari produksi makanan berakhir sebagai limbah, baik dari kerugian rantai pasokan atau konsumen. Pengemasan, pendinginan, dan pemrosesan makanan yang tahan lama, semuanya dapat membantu mencegah pemborosan makanan. Misalnya, pemborosan buah dan sayuran olahan 14% lebih rendah daripada segar dan 8% lebih rendah untuk makanan laut. 

Ekspansi pertanian juga menghasilkan konversi hutan, padang rumput, dan ‘penyerap’ karbon lainnya yang menghasilkan emisi karbon dioksida. Perubahan penggunaan lahan ini menyumbang 24% emisi karbon. (Donny Fernando)

Jarak juga biasanya paling menjadi sorotan dalam jejak karbon. Sehingga kita berpikir untuk membeli daging sapi lokal untuk mengurangi emisi dari transportasi. Tapi porsinya dalam penyumbang emisi terbilang kecil, biasanya kurang dari 1%. Apakah kita beli dari peternakan yang jauh atau tidak itu bukan masalah besar dari jejak karbon, tapi fakta bahwa itu daging sapi. 

Joseph Poore dan Thomas Nemecek dalam penelitiannya memperkirakan jika rata-rata rumah tangga di AS mengganti kalori mereka dari daging merah dan susu ke ayam, ikan atau telur satu hari per minggu, mereka akan menghemat 0,3 tCO2eq. Jika mereka menggantinya dengan alternatif nabati, mereka akan menghemat 0,46 tCO2eq. Dengan kata lain, melakukan diet daging merah dan susu'(tidak sepenuhnya bebas daging) satu hari per minggu akan mencapai hal yang sama dengan melakukan zero food mile

Ada temuan menarik dari Klimato, perusahaan rintisan Swedia yang menghitung jejak karbon makanan. Fasilitas layanan makanan baik itu restoran, penyedia katering, truk makanan lokal, atau kantin perusahaan besar nantinya dapat menampilkan dampak iklim dari menu makanan yang mereka tawarkan. Menurut Anton Unger, CEO & salah satu pendiri Klimato kepada Time, membuat pilihan sadar iklim saat memesan menu makanan tidak terlalu sulit atau berat. Masalahnya adalah kebanyakan orang tidak tahu jejak karbon dari makanan mereka. 

Klimato menggunakan analisis siklus hidup yang melihat emisi CO2 dari produksi dan distribusi bahan demi bahan untuk menghasilkan total emisi akhir makanan. 

“Menyadari dampak iklim dari setiap tindakan konsumen, baik itu memesan burger daging sapi atau membeli celana jins, akan membantu meningkatkan kesadaran dan akuntabilitas atas tindakan kita sendiri dan hubungan langsung antara apa yang saya beli/makan/pakai dan dampaknya. Ini mempengaruhi iklim,” tutur Unger. 

Baca Juga: Hutan Indonesia Cuma Berdampak Kecil Pada Target Pengurangan Emisi

Mengurangi emisi dari produksi pangan akan menjadi salah satu tantangan besar manusia dalam beberapa dekade mendatang. Tidak seperti banyak aspek produksi energi di mana peluang untuk meningkatkan energi rendah karbon tersedia. 

Berkenaan dengan banyaknya permasalahan lingkungan terkait karbon, Toyota Eco Youth kembali hadir untuk mencetak agen perubahan dan mengedukasi anak muda Indonesia untuk berperan dalam upaya mencapai netralitas karbon. Dalam programnya yang ke-12 kali ini, Toyota Eco Youth mengusung tema "Ecozoomers"sebutan untuk Gen-Z yang memiliki kepedulian dalam menyelamatkan lingkungan dengan memanfaatkan teknologi. 

Saat ini, Toyota Indonesia dan dewan juri akan menetapkan kriteria untuk menyaring tiga proposal sekolah terbaik dari 25 sekolah yang ikut serta dalam program TEY 12. Tiga sekolah terbaik akan dibuatkan aplikasi oleh Toyota Indonesia untuk mendukung proyek dan inovasi agar terciptanya pembangunan yang berkelanjutan.

Baca Juga: Wahai Anak Muda, Indonesia Menanti Langkahmu untuk Netralitas Karbon