Kepentingan Ekonomi Versus Konservasi Tuna di Balik Rumpon

By , Kamis, 16 November 2017 | 15:08 WIB

Kapal jaring sedang tambat di rumpon miliknya di Laut Maluku, Januari 2016. Widhya Nugroho Satrioajie, Author provided Widhya Nugroho Satrioajie, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berulang kali menyatakan keberadaan rumpon di tengah laut mempercepat eksploitasi tuna sekaligus menyebabkan bergesernya lokasi penangkapan (fishing ground) makin jauh ke tengah laut.

Besarnya permintaan tuna di pasar global memacu pengusaha perikanan memasang rumpon ilegal untuk “memanen” tuna yang berenang di sekitar rumpon. Kelestarian tuna semakin terancam dengan banyaknya pemasangan rumpon ditambah belum efektifnya pengawasan yang dilakukan pemerintah.

Rumpon dalam istilah asing disebut fish aggregating device (FAD) atau payaos (bagi pelaut Filipina) merupakan sejenis pelampung yang dipasang di laut untuk menarik ikan berkumpul di dekatnya sebelum ditangkap oleh nelayan.

Indonesia merupakan salah satu negara produsen tuna terbesar dengan memproduksi 16% atau 185.675 metrik ton atau setara $1,9 miliar per tahun. Sebagian besar industri perikanan tuna memang berkaitan dengan penggunaan rumpon.

Keberadaan rumpon telah mengubah paradigma hunting menjadi harvesting karena risiko ketidakpastian lokasi tuna dapat diminimalkan dengan mengumpulkan ikan di lokasi-lokasi tertentu. Diperkirakan lebih dari 50% hasil tangkapan tuna di dunia berasal dari penangkapan yang berasosiasi dengan rumpon.

Petualangan saya dengan kapal pancing ulur (handline) berukuran 9 gross tonnage (GT) dimulai dari Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung-Sulawesi Utara pada awal Januari 2016. Dua pekan perjalanan membuat saya mengetahui lebih dalam tentang seluk beluk rumpon. Kapal kami mendatangi sebuah rumpon milik kapal jaring lingkar (purse seine) di Laut Maluku, sekitar 130 kilometer dari daratan. Lokasi ini dapat ditempuh 8-9 jam dengan kecepatan kapal 8-9 knot.

Kapten dan anak buah kapal mengungkapkan bahwa, memancing tuna bukanlah perkara mudah. Sebab tuna, yang dikenal sebagai ikan peruaya jauh, merupakan perenang cepat dan kerap berpindah tempat. Dibutuhkan keterampilan dan insting yang kuat untuk mengetahui keberadaan ikan pelagis besar ini.

(Baca juga: Pemerintah Indonesia Harus Perbaiki Tata Kelola Perikanan dari Hulu ke Hilir)

Pada awalnya rumpon dipasang di dekat pantai. Namun, saat ini banyak rumpon yang dipasang di wilayah laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (ZEE). Sebagian besar rumpon tersebut dijaga oleh kapal lampu guna mencegah pencurian ikan serta memantau tuna.

Sedangkan di sekitar laut teritorial seperti Maluku dan Sulawesi, sebagian besar rumpon dijaga oleh seorang nelayan yang menempati rakit atau gubuk apung yang diikatkan ke pelampung rumpon. Mereka memantau keberadaan tuna dengan menyelam di sekitar rumpon dan mengamati permukaan perairan.

Rakit dilengkapi generator dan panel surya, radio komunikasi, alat masak, dan lampu neon 6-8 buah yang dipasang mengelilingi. Cahaya lampu berperan sangat penting, agar ikan berkumpul pada malam hari. Cahaya lampu juga berguna untuk keamanan rumpon agar terlihat oleh kapal yang melintas pada malam hari.

Penjaga rumpon mengawasi dan menginformasikan keberadaan tuna kepada pemilik rumpon atau kapal purse seine. Mereka pula yang menentukan siapa dan berapa jumlah kapal pancing tuna yang diizinkan menambatkan kapalnya untuk memancing tuna di sekitar rumpon. Penjaga rumpon tinggal selama 6-12 bulan di rakit dengan mengandalkan suplai makanan dan bahan bakar minyak dari pemilik rumpon. Untuk mengusir kebosanan, mereka melengkapi isi rakitnya dengan hiburan televisi dan DVD player.