Mengejar Jejak Majapahit di Tanadoang Selayar

By , Sabtu, 28 Oktober 2017 | 05:10 WIB

Asri memberikan penjelasan soal arah menuju lokasi kampung tua yang berbeda dengan daerah yang pernah saya kunjungi itu. “Setelah pintu gerbang kota, belok kanan di persimpangan patung TNI. Jalanannya lumayan mulus namun mendaki. Setelah mendapat tanda jalan ‘Bissorang 3 Km’, maka belok kanan. Sepanjang jalan kita tidak akan menemui kampung, Jalanannya rabat beton di antara kebun warga, maka ujung jalan akan menemukan kampung tua itu.”

Karena kendaraan roda empat yang ditumpangi sudah dapat modifikasi, Asri dan rombongannya terpaksa berjalan kaki. Kendaraannya tak mungkin mendaki sisa jalan sejauh dua kilometer. “Mobil kami ceper, jadi tak mungkin terus. Ya sudah, kami mendaki sejauh dua kilo (meter) lah.”

Kampung tua Bissorang dikelilingi bukit menghijau dengan jurang yang menghujam dasar bumi. Tempat ini dapat dijangkau dengan mudah dari Benteng, ibu kota Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Asri)

Penjelajahan kecil itu bersifat mendadak. Saya kesal tak punya kesempatan ikut. Padahal, waktunya hanya selang satu minggu setelah acara Kemah Konservasi. Lantaran kompak, koordinator relawan Kelas Inspirasi, Dianika Ariatami membuatkan grup WhatsApp untuk memudahkan komunikasi. Dari situlah, komunikasi di antara relawan tetap terpintal.

“Awalnya cuma ingin kasih lihat ke Tika (Atika D. Wiguna). Dia kan masih di sini,” sebut Asri. Atika adalah relawan Kelas Inspirasi yang berasal dari Jakarta. Datang jauh dari Ibu Kota, Tika telah terbiasa “blusukan” ke pelosok negeri untuk mengantar wisatawan yang ingin melihat keindahan nusantara. Jadi, dia butuh banyak informasi destinasi wisata agar bisa memberikan agenda perjalanan yang baru.

“Saya tanya ke dia, ‘Tika, kamu sudah pernah ke Kampung Tua Bissorang?’” Rupanya, Tika tertarik dengan tawaran Asri tadi. “Saya pun sudah lama ingin ke sana. Tapi, belum punya waktu yang pas.”

!break!
Kehidupan warga kampung tua Bissorang di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Asri)

Dari situlah, penjelajahan ke Kampung Tua Bissorang bermula. Usai jalan kaki dengan rute mendaki sepanjang dua kilometer, rasa lelah itu terbayarkan. Panorama di atas bukit terhampar cantik. Tempat ini dikelilingi oleh bukit-bukit yang diselingi jurang batu yang menghujam dasar bumi.

Kampung Tua Bissorang lebarnya tak lebih dari 20 meter namun memanjang hingga ke ujung jurang. Di ujung kampung, tetamu bisa melihat bagian timur Selayar. "Nah, bisa dibayangkan betapa indahnya (panorama) waktu pagi hari ya," kata Asri. 

Di sini, Asri dan rombongannya tak menjumpai tanah. Mereka cuma menemukan batu-batu besar yang menyangga semua bangunan rumah. Konon, kampung ini mulanya berada di kawasan pesisir, tapi lantaran armada laut Kerajaan Seram dari Ternate kerap menyerang Bissorang, maka penduduk memutuskan berpindah ke puncak dataran tinggi berbatu tadi.

Asri segera menerbangkan drone untuk mendokumentasikan visual lanskap dan detail dusun tua dari udara. Kata Asri, kampung ini memiliki jalan di tengah dusun yang bercabang dua. Menurut keterangan warga, dulu jika ada warga meninggal di sebelah kiri, maka jasadnya akan dikuburkan di sisi kiri. Begitu pun sebaliknya. Kini, warga dusun hanya tersisa dalam 24 Kepala Keluarga yang terbagi dalam 24 buah rumah. Dahulu, terdapat 40 buah rumah.

Seorang warga yang ditemui di kampung tua Bissorang, yang menjadi salah satu destinasi wisata Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Asri)
!break!
Meriam kuno yang dapat kita jumpai di kampung tua Bissorang, Selayar, Sulawesi Selatan, belum mendapat penelitian lebih jauh. Tapi, melihat ciri fisiknya, sejumlah pihak menyakini meriam kuno berbahan perunggu itu termasuk peninggalan kerajaan Majapahit. (Asri)

Kampung Bissorang beberapa waktu lalu sempat menjadi perhatian. Di sini, penyuka sejarah menjumpai benda kuno yang masih terawat di salah satu rumah warga. “Meriam ini umurnya sudah ratusan tahun tak hanya meriamnya saja, tapi lengkap dengan bedilnya yang berjumlah 13 biji,” sebut Asri, yang juga mendokumentasikan visual meriam kuno itu.

Kata empunya, lanjut Asri, jumlah bedil itu biasa digunakan untuk meramal hasil kebun. Jika jumlahnya lebih dari 13 biji, maka hasil kebun akan melimpah. Begitu pula sebaliknya, jika kurang, maka hasil kebun bakal minim.