Mengejar Jejak Majapahit di Tanadoang Selayar

By , Sabtu, 28 Oktober 2017 | 05:10 WIB

Kabar itu membuat saya penasaran. Saya mencoba mencari tahu kebenarannya. Ternyata, ada sejumlah kabar yang telah disampaikan oleh beberapa pengelola situs web. Sayangnya, informasi yang ada tak mendalam.

“Saya memang sudah lama ingin ke sana. Tapi, baru sempat sekarang,” Asri membuka kisah penjelajahan singkatnya. Ia lalu bercerita dalam perjalanan itu dirinya ditemani oleh Resi Dj, Rahmawati, Atika D. Wiguna, dan Nurwahidah Saleh. Mereka menumpang kendaraan roda empat untuk mengisi libur kerja pada akhir pekan.

“Kampung tua ini menarik. Ada peninggalan meriam dan dicampur cerita mistis,” kata Asri yang tercatat sebagai staf Pengendali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Taka Bonerate, kawasan lindung yang termasuk wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.

Tentu saja, ia pergi ke kampung itu bukanlah dalam rangka tugas kantor. Asri punya hobi memotret dan membuat video. Tak heran, setiap ada waktu senggang, ia tak pernah bisa diam di rumah. Menjelajah jadi kata kunci dalam kamus hidupnya.

Kampung tua Bissorang dapat dicapai sekitar 45 menit perjalanan darat dari Kota Benteng, pusat peradaban Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Asri)

Saya mengenal Asri sejak lama. Kami berjumpa pertama kali di Bogor, Jawa Barat pada 2011. Ketika itu, Asri tercatat sebagai salah satu peserta kegiatan penyegaran jurnalistik lapangan di lingkungan Kementerian Kehutanan. Datang dari selatan kaki Semenanjung Sulawesi, Asri membawa seabrek data fotografi yang didapatkannya selama bekerja di taman nasional.

“Ah, pokoknya saya tak bisa menulis ji. Saya hanya ingin memotret saja,” kata lulusan Sekolah Kehutanan Menengah Atas ini dengan logat Makassar yang kental. Dia kerap melucu dalam kelas dan keramahannya membuat siapa langsung akrab.

!break!
Panorama matahari tenggelam di wilayah Benteng, ibu kota Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Selayar yang memiliki jejak bahari penting masa lalu kini semakin giat mendorong kegiatan pariwisatanya. (Asri)

Akhir Oktober lalu, Asri mengajak saya: menjelajahi pulau-pulau bagian selatan di taman nasional. Dapat tawaran itu, saya tak berpikir dua kali. Saking bersemangatnya, saya menolak bermalam di Makassar. Saya tak sabar segera tancap gas melaut ke pulau-pulau berpenduduk di dalam kawasan lindung nasional itu. “Tak bisa (langsung pergi ke pulau). Sudah ada panitia yang mengatur itu,” ujar Asri menenangkan semangat saya.

Dia lebih dulu pergi ke Pulau Pasitallu Tengah bersama puluhan relawan Kelas Inspirasi, yang mengenalkan sejumlah profesi kepada siswa sekolah dasar. Pulau ini termasuk bagian paling selatan taman nasional dan terdepan dari wilayah administrasi Kecamatan Taka Bonerate. Dalam Kelas Inspirasi, Asri mengajak Kepala Balai Taman Nasional Taka Bonerate Jusman untuk bergabung sebagai relawan. Selain itu, terdapat pula anggota TNI dan Kepolisian yang ikut di dalamnya.

Sembari menunggu keberangkatan kapal motor menuju Pulau Pasitallu Timur, pusat kegiatan Kemah Konservasi yang digelar balai taman nasional pada 24 – 26 Oktober, saya sempat mengunjungi Kampung Tua Bitombang. Salah satu andalan wisata Selayar ini dapat dicapai dengan perjalanan darat sejauh tujuh kilometer dari Benteng, pusat peradaban kabupaten kepulauan itu. Dengan menumpang kendaraan dinas balai taman nasional, saya tiba di perkampungan itu.

Kampung tua Bitombang, yang dapat dicapai selama sepuluh menit dari Kota Benteng, ibu kota Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Kampung tua ini menjadi salah satu destinasi wisata andalan Selayar. (Bayu Dwi Mardana Kusuma)
!break!
Deretan rumah yang dapat kita jumpai di Kampung Tua Bissorang, salah satu destinasi wisata di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Saat ini, tinggal 24 buah rumah yang masih bertahan. Awalnya, rumah penduduk mencapai angka 40 buah. (Asri)

“Jadi itu Bitombang, Om?” saya bertanya kepada Asri lewat aplikasi WhatsApp.

“Bukan. Ini beda arah. Kalau ini menuju puncaknya (Pulau) Selayar. Sekitar 45 menit dari Benteng.”

Asri memberikan penjelasan soal arah menuju lokasi kampung tua yang berbeda dengan daerah yang pernah saya kunjungi itu. “Setelah pintu gerbang kota, belok kanan di persimpangan patung TNI. Jalanannya lumayan mulus namun mendaki. Setelah mendapat tanda jalan ‘Bissorang 3 Km’, maka belok kanan. Sepanjang jalan kita tidak akan menemui kampung, Jalanannya rabat beton di antara kebun warga, maka ujung jalan akan menemukan kampung tua itu.”

Karena kendaraan roda empat yang ditumpangi sudah dapat modifikasi, Asri dan rombongannya terpaksa berjalan kaki. Kendaraannya tak mungkin mendaki sisa jalan sejauh dua kilometer. “Mobil kami ceper, jadi tak mungkin terus. Ya sudah, kami mendaki sejauh dua kilo (meter) lah.”

Kampung tua Bissorang dikelilingi bukit menghijau dengan jurang yang menghujam dasar bumi. Tempat ini dapat dijangkau dengan mudah dari Benteng, ibu kota Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Asri)

Penjelajahan kecil itu bersifat mendadak. Saya kesal tak punya kesempatan ikut. Padahal, waktunya hanya selang satu minggu setelah acara Kemah Konservasi. Lantaran kompak, koordinator relawan Kelas Inspirasi, Dianika Ariatami membuatkan grup WhatsApp untuk memudahkan komunikasi. Dari situlah, komunikasi di antara relawan tetap terpintal.

“Awalnya cuma ingin kasih lihat ke Tika (Atika D. Wiguna). Dia kan masih di sini,” sebut Asri. Atika adalah relawan Kelas Inspirasi yang berasal dari Jakarta. Datang jauh dari Ibu Kota, Tika telah terbiasa “blusukan” ke pelosok negeri untuk mengantar wisatawan yang ingin melihat keindahan nusantara. Jadi, dia butuh banyak informasi destinasi wisata agar bisa memberikan agenda perjalanan yang baru.

“Saya tanya ke dia, ‘Tika, kamu sudah pernah ke Kampung Tua Bissorang?’” Rupanya, Tika tertarik dengan tawaran Asri tadi. “Saya pun sudah lama ingin ke sana. Tapi, belum punya waktu yang pas.”

!break!
Kehidupan warga kampung tua Bissorang di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Asri)

Dari situlah, penjelajahan ke Kampung Tua Bissorang bermula. Usai jalan kaki dengan rute mendaki sepanjang dua kilometer, rasa lelah itu terbayarkan. Panorama di atas bukit terhampar cantik. Tempat ini dikelilingi oleh bukit-bukit yang diselingi jurang batu yang menghujam dasar bumi.

Kampung Tua Bissorang lebarnya tak lebih dari 20 meter namun memanjang hingga ke ujung jurang. Di ujung kampung, tetamu bisa melihat bagian timur Selayar. "Nah, bisa dibayangkan betapa indahnya (panorama) waktu pagi hari ya," kata Asri. 

Di sini, Asri dan rombongannya tak menjumpai tanah. Mereka cuma menemukan batu-batu besar yang menyangga semua bangunan rumah. Konon, kampung ini mulanya berada di kawasan pesisir, tapi lantaran armada laut Kerajaan Seram dari Ternate kerap menyerang Bissorang, maka penduduk memutuskan berpindah ke puncak dataran tinggi berbatu tadi.

Asri segera menerbangkan drone untuk mendokumentasikan visual lanskap dan detail dusun tua dari udara. Kata Asri, kampung ini memiliki jalan di tengah dusun yang bercabang dua. Menurut keterangan warga, dulu jika ada warga meninggal di sebelah kiri, maka jasadnya akan dikuburkan di sisi kiri. Begitu pun sebaliknya. Kini, warga dusun hanya tersisa dalam 24 Kepala Keluarga yang terbagi dalam 24 buah rumah. Dahulu, terdapat 40 buah rumah.

Seorang warga yang ditemui di kampung tua Bissorang, yang menjadi salah satu destinasi wisata Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Asri)
!break!
Meriam kuno yang dapat kita jumpai di kampung tua Bissorang, Selayar, Sulawesi Selatan, belum mendapat penelitian lebih jauh. Tapi, melihat ciri fisiknya, sejumlah pihak menyakini meriam kuno berbahan perunggu itu termasuk peninggalan kerajaan Majapahit. (Asri)

Kampung Bissorang beberapa waktu lalu sempat menjadi perhatian. Di sini, penyuka sejarah menjumpai benda kuno yang masih terawat di salah satu rumah warga. “Meriam ini umurnya sudah ratusan tahun tak hanya meriamnya saja, tapi lengkap dengan bedilnya yang berjumlah 13 biji,” sebut Asri, yang juga mendokumentasikan visual meriam kuno itu.

Kata empunya, lanjut Asri, jumlah bedil itu biasa digunakan untuk meramal hasil kebun. Jika jumlahnya lebih dari 13 biji, maka hasil kebun akan melimpah. Begitu pula sebaliknya, jika kurang, maka hasil kebun bakal minim.

Meriam kuno itu belum mendapat penelitian lebih jauh. Tapi, melihat ciri fisiknya, sejumlah pihak menyakini meriam kuno berbahan perunggu itu termasuk peninggalan kerajaan Majapahit. Bentuk dan fitur relief meriam di Bissorang itu bisa dipastikan jenisnya adalah Cetbang, senjata andalan armada laut kerajaan Majapahit masa lampau.

Meriam kuno ini masih disimpan dan dirawat dengan baik oleh seorang warga setempat yang dipercaya untuk menjaganya. Kondisi meriam bersih dan mulus. Semua relief dan ukirannya masih nampak jelas. Sayangnya, tidak ada literatur yang bisa menjelaskan keberadaan meriam kuno Majapahit ini, apakah hasil rampasan perang dari kapal armada Seram ataukah sudah disana sebelumnya.

Penduduk Bissorang menyebutnya ba’dili atau Papporo Bissorang. Meriam ini diperkirakan sudah ada melalui hubungan antarkerajaan Majapahit. Menurut sejarahnya, senjata jenis meriam itu sudah ada disana sejak Kampung Bissorang dulunya berada di pesisir pantai kemudian pindah ke puncak bukit batu.

Pulau Pasitallu Timur, yang berada di bagian selatan Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar. Penduduk di pulau ini adalah keturunan Suku Bajo, yang telah terkenal melaut hingga benua tetangga, Australia. (Sanovra Jr/Tribun Timur)

Pada masa silam, Selayar punya peran penting dalam perdagangan rempah-rempah di Moluccan alias Maluku. Pulau ini menjadi tempat singgah para pedagang untuk mengisi armada lautnya dengan sejumlah bekal sembari menunggu musim yang baik untuk berlayar. Dari situlah, muncul kata “Selayar”. Nama Selayar berasal dari kata cedaya, yang dalam bahasa Sansekerta bermakna satu layar. Konon, kata ini dipilih lantaran banyak perahu satu layar yang singgah di sini.

Kata cedaya telah diabadikan namanya dalam Kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca pada abad 14.  Ditulis bahwa pada pertengahan abad 14, sewaktu Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Hayam Wuruk  yang bergelar Rajasanegara, Selayar digolongkan dalam Nusantara, yaitu pulau-pulau lain di luar Jawa yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Ini berarti bahwa armada Gajah Mada atau Laksamana Nala pernah singgah di pulau ini.

Kegiatan wisata selam menjadi andalan pariwisata di kawasan Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Asri)

Jadi, misteri Bissorang belum lagi terungkap. Saya pun masih penasaran. Sebab, situs ini harus saya kunjungi saat singgah di Selayar, sebelum meneruskan perjalanan bahari menuju Taman Nasional Taka Bonerate, yang menyajikan panorama perairan dangkal ala ataman surgawi tropis.