Gereja Ganjuran, Bentuk Akulturasi Jawa, Hindu-Buddha dan Eropa

By , Jumat, 24 November 2017 | 12:00 WIB

Gaya Jawa terlihat pada bangunan yang bergaya joglo dihiasi ukiran Jawa, termasuk ukiran nanas pada tiang-tiang gereja, serta ukiran berbentuk jajar genjang yang disebut wajikan.

Pendopo gereja dikerjakan langsung oleh pihak Keraton Yogyakarta. Mereka mendatangkan pemahat khusus untuk membuatkan pahatan-pahatan kayu yang mirip dengan keraton.

Pada kanan kiri altar juga terdapat patung malaikat berbusana tokoh wayang orang sedang menyembah. Sementara empat tiang kayu jati bergaya Jawa yang menopang atap berbentuk tajug menggambarkan empat penulis Injil, yakni Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes.

Gaya Jawa juga terlihat pada relief Yesus yang digambarkan sebagai raja Jawa yang bertahta di singgasana. Pada bagian bawah relief ini terdapat tulisan Sang Maha Prabu Jesus Kristus Pangeraning Para Bangsa.

(Baca juga: Potret Keberagaman Hidup di Pelosok Kendal)

Sedangkan relief Bunda Maria digambarkan sebagai ratu Jawa yang sedang memangku Yesus yang masih anak-anak. Pada bagian bawah relief ini terdapat tulisan Dyah Marijah Iboe Ganjoeran. Baik Yesus maupun Bunda Maria dalam relief ini juga berparas Jawa dan mengenakan kostum Jawa.

Gaya Jawa pada kedua relief itu, menurut Cahyo Widiarto, Sekretaris Dewan Paroki, hendak menunjukkan bahwa Tuhan yang diyakini umat Gereja Ganjuran itu sangat dekat. “Patung dengan adat dan pakaian Jawa itu, supaya umat merasakan bahwa Tuhan itu sungguh-sungguh Tuhannya orang Jawa,” ucap Cahyo yang sudah enam tahun melayani umat di gereja ini.

“Kejawaan” itu juga diperlihatkan lewat misa yang disampaikan dalam bahasa Jawa pada jadwal-jadwal tertentu. Pada misa ini, nyanyian doa yang dilantunkan umat diiringi alunan gamelan.

Nuansa Hindu-Buddha terlihat pada bangunan candi. Bukan hal yang biasa melihat gereja sekaligus candi berada dalam satu area. Pada 1998 ditemukan mata air dari dasar candi Hati Kudus Tuhan Yesus ini. Air dari mata air ini sangat jernih dan dapat langsung diminum, serta dipercaya memiliki khasiat menyembuhkan penyakit.

Mata air ini kemudian diberi nama Tirta Perwitasari. Tirta berarti air, adapun Perwitasari diambil dari nama orang yang pertama kali merasakan khasiat air tersebut. Sejak diketahui khasiat air itu, Gereja Ganjuran menjadi tempat ziarah. Setiap harinya, ratusan orang silih berganti berdoa di depan candi ini.

Setiap peziarah yang sakit dan berharap memperoleh kesembuhan melakukan ritual doa di candi tersebut. Setelah mengambil air di samping candi, umat kemudian duduk bersimpuh di depan candi lalu memanjatkan doa dan permohonan.

Terakhir, dia masuk ke dalam candi dan berdoa di depan patung Yesus Kristus. Beberapa peziarah pun kerap mengambil air itu dan memasukkannya dalam botol atau jerigen kecil untuk dibawa pulang setelah didoakan.