Gereja Ganjuran, Bentuk Akulturasi Jawa, Hindu-Buddha dan Eropa

By , Jumat, 24 November 2017 | 12:00 WIB

Seorang peziarah menuturkan kisahnya kepada Tim Ceritalah ASEAN. “Dulu mama saya kena stroke. Saya selalu berdoa di sini. Terus mama saya ajak ke sini. Saya berdoa semoga Tuhan menghilangkan segala penyakitnya lewat air ini. Puji Tuhan, sembuh,” tuturnya.

(Baca juga: Mahasiswa Muslim Belajar Kesetaraan Gender di Gereja Banda Aceh)

Halaman depan candi merupakan tempat favorit untuk berdoa dan karena luas, selalu menjadi tempat misa bulanan. Pucuk-pucuk pinus yang menaungi pelataran candi hingga membuatnya teduh, diiringi sayup-sayup denting gamelan, memberikan pengalaman spiritual yang menentramkan jiwa dan raga umat yang berdoa di sini.

Bagi sebagian orang, Gereja Ganjuran bukan sekadar tempat untuk merenung, berdoa, dan beribadah. Namun, di tempat ini juga umat bisa melihat Yesus Kristus dalam wajah Jawa, mengenakan surjan, dan mendengarkan gamelan.

Gereja Ganjuran yang menerapkan ajaran Katolik Roma adalah bentuk indah akulturasi budaya Jawa, Hindu-Buddha, dan Eropa. Meski berdiri di lingkungan dengan beragam agama, Gereja Ganjuran tetap mampu melayani umatnya.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X pun memberi perhatian besar bagi kelangsungan gereja ini. Hal itu sudah dibuktikan ketika Pemerintah Provinsi turun langsung ikut memulihkan bangunan gereja pascagempa bumi 2006.

Jika datang ke Gereja Ganjuran di penghujung sore, terang lampu redup yang menempel pada pepohonan pinus, serta sinar yang datang dari relung candi, akan mengantarkan umat menuju altar di pendopo yang sangat cantik, megah, dan autentik ini.

Semilir angin sejuk dari sela-sela rerimbunan pinus diiringi lagu-lagu doa yang dilantunkan paduan suara anak-anak menambah suasana religi bagi umat yang berdoa di tempat ini.

Artikel ini pernah tayang di Kompas.com dengan judul Gereja Ganjuran, Bentuk Indah Akulturasi Jawa, Hindu-Buddha, dan Eropa