Membebaskan Orang Dengan Gangguan Jiwa dari Pasung

By , Jumat, 15 Desember 2017 | 18:00 WIB

Di Indonesia masih banyak orang dengan gangguan jiwa diikat, dirantai, diberi balok kayu di kaki, dan dikurung di dalam kamar.

Sejak 2010, pemerintah, rumah sakit jiwa, organisasi konsumen, dan pihak-pihak lain mendukung Gerakan Bebas Pasung di Indonesia untuk membebaskan orang dengan gangguan jiwa dari pasung. Pemasungan tidak hanya terjadi di Indonesia. Namun Indonesia satu-satunya negara yang memiliki gerakan bebas pasung.

Namun membebaskan mereka dari pasung tidak sederhana. Pemasungan orang dengan gangguan jiwa menyangkut budaya, kesiapan keluarga, masyarakat, pemerintah, dan sistem kesehatan jiwa secara umum.

Untuk menumbuhkan perhatian kepada orang dengan gangguan jiwa dan membebaskan mereka dari pasung, dorongan dari anggota masyarakat sangat dibutuhkan.

Saya dan rekan-rekan di Center for Public Mental Health (CPMH), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, sejak 2015 mengadvokasi hak para pasien jiwa di Panti Mbah Marsiyo, sebuah panti yang dikelola oleh Marsiyo, berusia sekitar 80 tahun, di Kabupaten Kebumen.

Marsiyo meyakini metode utama menyembuhkan sakit jiwa adalah mendekatkan mereka ke tanah, yaitu dengan merantai kaki pasien atau memasung mereka di atas tanah. Sejak 40 tahun lalu, ia menampung orang dengan gangguan jiwa di rumahnya. Orang-orang tersebut datang diantar oleh keluarga mereka.

Advokasi yang kami lakukan pada awalnya belum membuahkan hasil. Kami baru menemukan momentum pada bulan-bulan terakhir 2017 ketika seorang petugas pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) mengikuti workshop mengenai pemberantasan praktik pasung. Ia kemudian terinspirasi untuk menggerakkan pejabat berwenang untuk memperhatikan nasib orang dengan gangguan jiwa yang dipasung di Panti Mbah Marsiyo.

(Baca juga: HRW Ungkap Kekerasan Terhadap Penderita Sakit Jiwa di Indonesia)

Sebuah bakti sosial yang dilakukan pemerintah daerah Kebumen sempat membuat isu mengenai pembebasan praktik pasung di Panti tersebut mengemuka di beberapa media lokal.

Advokasi untuk orang dengan gangguan jiwa di Kebumen

Saya dan rekan-rekan mulai mencoba mencari tahu siapa saja yang memiliki peran dapat mengubah keadaan panti Mbah Marsiyo pada 2015. Awalnya, Aliza Hunt, mahasiswa kandidat doktor dari Australian National University magang di Center for Public Mental Health (CPMH) dan mengunjungi panti Mbah Marsiyo.

Aliza menuangkan keprihatinan tersebut ke dalam laporan yang dibagi dalam lingkungan terbatas. Aliza kemudian mendiskusikannya secara intensif dengan kami. Ia prihatin dengan metode yang digunakan dan fasilitas buruk di panti.

Maka kami kemudian menganalisis untuk mencari siapa yang bisa menjadi agen perubahan. Kami juga mencari tahu potensi daerah dan sistem kesehatan jiwa di Kebumen.

Dari analisis inilah kami bertemu Sian, petugas di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) Kecamatan Mirit, puskesmas rujukan untuk wilayah Panti Mbah Marsiyo. Kami melihat potensi Sian untuk menjadi agen perubahan. Di Puskesmas Mirit Sian bertanggung jawab atas program kesehatan jiwa.