Membebaskan Orang Dengan Gangguan Jiwa dari Pasung

By , Jumat, 15 Desember 2017 | 18:00 WIB

Kami kemudian menyaksikan sebuah keluarga menyerahkan anggota keluarganya ke Panti Mbah Marsiyo. Mbah Marsiyo menerima keluarga tersebut dengan ramah. Ia memberikan secarik kertas pada keluarga untuk ditandatangani.

Kertas tersebut intinya berbunyi “Keluarga tidak akan menuntut jika terjadi apa-apa dengan orang dengan gangguan jiwa yang dititipkan kepada Mbah Marsiyo”. Mbah Marsiyo meminta, tapi tidak mewajibkan, keluarga menyumbang sedikit uang untuk biaya perawatan.

Keluarga tersebut bercerita pada peserta pelatihan bahwa anggota keluarga, yang berusia 30-an, sudah 15 kali masuk rumah sakit jiwa. Namun pasien selalu kambuh dan agresif setelah dua minggu di rumah.

Mereka berkata warga sekitar rumah mereka ketakutan setiap pasien mengamuk. Warga menolak kehadirannya di tengah masyarakat. Dengan berat hati keluarga kemudian membawa pasien ke Panti Mbah Marsiyo.

Kisah miris tersebut menunjukkan bahwa sedikitnya ada lima hal yang hilang: pengobatan yang teratur, psikoterapi, keluarga yang suportif, masyarakat yang tidak men-stigma, dan aktivitas yang sesuai agar orang dengan gangguan jiwa bisa mencapai “wellbeing” dan hidup produktif dengan sakitnya. Sistem kesehatan jiwa komprehensif memerlukan nafas panjang advokasi. Dari Kebumen kita belajar bahwa perubahan ke arah yang lebih baik dalam menangani orang dengan gangguan jiwa mungkin dilakukan.

Diana Setiyawati, Lecturer at the Faculty of Psychology and researcher at Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.