Sumbat Hidung dan Setrika Payudara, Cara Ekstrem Lindungi Perempuan

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 15 Januari 2022 | 13:00 WIB
Maraknya kasus penculikan wanita Apatani, tetua membuat tradisi sumbat hidung dan tato wajah. Tujuannya agar wanita Apatani menjadi tidak menarik lagi. (Doniv79/Wikipedia)

Nationalgeographic.co.id - Di banyak tempat, kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan masih sering terjadi. Beragam tindakan pencegahan dilakukan untuk melindungi perempuan. Mulai dari penerapan seperangkat aturan sampai solusi-solusi ekstrem untuk melindungi kaum perempuan.

Misalnya sumbat hidung di negara bagian di India Timur, Arunachal Pradesh, dan setrika payudara di Afrika Barat dan Tengah. Bagaimana membuat salah satu bagian tubuh menjadi cacat ini dapat melindungi perempuan?

Setrika payudara umum terjadi di Afrika Barat dan Tengah. Termasuk Guini-Bissau, Cad, Togo, Benin, Guini-Conakry, Pantai Gading, Kenya, dan Zimbabwe. Di Kamerun, praktik ini lazim dilakukan. Satu dari tiga anak perempuan, sekitar 1.3 juta, menjadi sasaran penyetrikaan payudara.

Laporan tentang mutilasi alat kelamin perempuan, pernikahan paksa, dan bunuh diri untuk kehormatan keluarga sering kita dengar. Namun praktik di mana gadis-gadis muda yang memasuki masa pubertas menyetrika payudara sampai rata kurang terdengar.

Saat masa pubertas, ketika payudara seorang gadis tumbuh, masyarakat menganggap seksualitasnya pun berkembang. Jika dibiarkan, ini dapat menimbulkan masalah serta kehancuran bagi keluarga dan masyarakat status quo (patriarki).

Baca Juga: Tradisi Modifikasi Tubuh Manusia: Tato hingga Pemanjangan Tengkorak

Tetapi penelitian lain menemukan alasan lain mengapa para ibu melakukan praktik ini. Ini menjadi cara untuk mencegah pernikahan dini dan membuat anak perempuan dapat mengenyam pendidikan lebih lama.

Dengan kata lain, jika payudara seorang gadis dapat ditahan agar tidak berkembang, mereka tidak akan dianggap siap untuk menikah dan melahirkan. Dengan demikian, akan bebas untuk melanjutkan pendidikan mereka lebih lama.

Setrika payudara telah menjadi bagian penting dari komunitas tertentu di Afrika. Meski ini tampak normal bagi mereka, praktik ini menimbulkan konsekuensi medis yang parah. Untuk meratakan payudara, mereka menggunakan batu gerinda, spatula, sapu, dan ikat pinggang untuk mengikat atau menekan payudara hingga rata. Daun yang diyakini memiliki kualitas obat atau penyembuhan juga dapat digunakan. Di beberapa tempat, kulit pisang raja, batu panas, dan setrika listrik dijadikan alat dalam pelaksaan praktik ini.

Para ibu, bidan, dan dukun yang melakukan proses meratakan payudara ini. Bagi mereka, ini menjadi sumber pendapatan, dengan cara yang mirip dengan mutilasi alat kelamin perempuan.

Sedikit pilihannya membuat para ibu terpaksa melakukan jalan ini agar anak perempuan mereka dapat sekolah lebih lama. Mereka menganggap, ketika anak perempuan mendapatkan pendidikan, ia akan memiliki peluang untuk masa depan yang lebih baik.

Dampak jangka pendek yang dialami antara lain payudara menjadi bengkak, terbakar, iritasi, bisul, abses, demam, dan nyeri hebat.

Beragam masalah pun muncul di kemudian hari, seperti payudara gagal tumbuh, kesulitan menyusui, dan bahkan kanker payudara. Tidak sedikit anak perempuan yang mengalami masalah psikologis.

Sumbat hidung demi mencegah penculikan wanita

Sebuah suku di Arunachal Pradesh juga memiliki cara ekstrem untuk melindungi kaum perempuan. Selama berabad-abad, masyarakat Apatani mempraktikkan gaya hidup yang harmonis dan menyatu dengan alam.

Selain sistem pertanian, karakteristik yang paling menonjol dari suku ini adalah sumbat hidung dan tato wajah pada kaum perempuannya. Bagi suku lain, modifikasi wajah menjadi simbol kecantikan dan tanda kesukuan. Sedangkan bagi suku Apatani, ini memiliki tujuan lain.

Selain suku Apatani, di Lembah Ziro hidup suku lain dengan adat dan karakteristik yang berbeda-beda. Di antara semua suku itu, wanita dari suku Apatani paling terkenal akan kecantikannya.

Seiring waktu, pria dari suku lain mulai menculik dan menikahi wanita Apatani secara paksa. Mereka dikenal sebagai perampok suku. Begitu seorang wanita suku Apatini diculik, ia tidak akan pernah terlihat lagi oleh sukunya.

Untuk mengatasi maraknya penculikan, tetua suku pun menjalankan tradisi ekstrem. Ketika anak perempuan memasuki masa pubertas dan mendapatkan menstruasi pertama, wajahnya ditato dan hidungnya disumbat. Modifikasi wajah bertujuan untuk membuat kaum wanita jadi tidak menarik dan tidak diinginkan oleh para perampok suku.

Meski akhirnya rencana ini berhasil, tradisi tato wajah dan sumbat hidung menimbulkan kerugian besar bagi para wanita.

Sumbat hidung kayu "Yaping Hullo" tidak ditempatkan di lubang hidung tetapi ditusuk di setiap sisi hidung. Ini menimbulkan sakit yang luar biasa dan ketidaknyamanan.

Baca Juga: Konyak, Suku Pemburu Kepala Terakhir di India dan Tradisi Tatonya 

Proses tato wajah pun sama buruknya. Tato seorang wanita Apatani dikenal dengan sebutan "Tippei". Garis hitam tebal yang membentang dari atas dahinya, turun ke seluruh wajah, dan terbagi menjadi 4-5 garis di dagu.

Tato itu dibuat dengan tanaman berduri yang dicelupkan ke dalam campuran jelaga dan lemak babi. Duri tersebut ditempelkan pada kulit kemudian dipukul dengan palu kecil hingga wajah bertinta. Bisa dibayangkan rasa sakit yang ditimbulkan, juga darah yang mengucur saat proses dilakukan.

Pada akhirnya berkat seluruh proses yang menyakitkan itu, para wanita suku Apatani pun bebas dari penculikan.

Sayangnya, masalah tidak berhenti sampai di sana.

Praktik sumbat hidung dan tato wajah untuk membuat wanita Apatani tidak menarik menjadi bagian penting dari budaya suku.

Para wanita tidak hanya tidak memberontak terhadap penculikan tetapi juga bangga dengan penampilan unik mereka. Modifikasi tersebut bahkan dipandang sebagai simbol kecantikan dan kedewasaan oleh suku Apatani.

Akan tetapi itu tidak bertahan lama.

Pada awal 1970-an, pemerintah India memberlakukan larangan sumbat hidung. Tradisi ini memang membuat suku Apatani jadi lebih mudah untuk dikenali. Namun di sisi lain, mereka rentan terhadap kasus diskriminasi.

Tak disangka, larangan tersebut tidak diterima dengan baik oleh suku Apatani. Namun akhirnya, mereka berdamai dengan peraturan pemerintah dan tradisi ini pun perlahan memudar.