Upaya Mengembalikan Keseimbangan yang Terlupakan

By , Senin, 16 Januari 2017 | 10:05 WIB

“Biang keladinya adalah revolusi hijau,” begitu simpul Tejo Wahyu Jatmiko, direktur eksekutif Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (Konphalindo). Dari nada bicaranya, tampak sekali kalau Tejo amat gemas dengan revolusi hijau. Kekesalan itu terungkap ketika ia menjelaskan arti penting pertanian organik kepada sejumlah wartawan di Jagakarsa, “markas” Konphalindo.

Gara-gara revolusi hijau, lanjut Tejo, beragam masalah lingkungan, kesehatan dan sosial satu per satu bermunculan. Bersamaan dengan pemakaian bahan-bahan kimia secara besar-besaran dalam kehidupan manusia masalah itu tak bisa dianggap sebelah mata lagi.

Lewat dari dua dekade, sisi negatif dari revolusi hijau mulai tampak di seluruh dunia. Lihat saja bagaimana petani kecil harus selalu meminjam atau membeli benih – ataupun asupan kimia, yang acap kali varietas baru tak cocok dan jelek pertumbuhannya dalam kondisi lokal.

Ladang bunga gumitir (Tagetes erecta) milik warga Banjar Jempanang, Badung, Bali. Bunga ini kerap digunakan untuk sesajen. Kelompok tani setempat telah menggunakan sistem pertanian organik. (Mahandis Y. Thamrin)

Saat harga panen anjlok, banyak keluarga petani dengan lahan menengah terperangkap dalam hutang. Pada saat yang sama, sejumlah besar petani kecil harus angkat kaki dari lahan pertaniannya.

“Pada saat yang sama, petani juga harus menghadapi masalah resistensi hama terhadap pestisida yang terus meningkat sampai akhirnya mereka mengabaikan seluruh hasil panen,” kata Tejo. Kejatuhan harga produk mereka ketika panen tiba diikuti pula dengan kepunahan keragaman hayati.

Dari situ, petani petani kemudian terhempas ke dalam lingkaran setan dengan memakai lebih banyak bahan kimia dan biaya produksi tinggi. Perusahaan kimia memberikan resep baru dan bak hanya mau memberikan instruksi agar petani dilatih oleh perusahaan kimia. Sebelum mereka sadar akan kebebasan yang direnggut, petani telah terperangkap dalam lingkaran setan itu, dan jarang ada yang sanggup meloloskan diri.

“Bukan cuma kebeban yang hilang, kemampuan alami petani dalam melakukan pemilihan benih yang baik juga ikut lenyap. Ini terjadi karena mereka mendapat benih drop-dropan yang disediakan perusahaan kimia,” ucap Tejo sambil tersenyum kecut. Benih-benih itu telah didesain untuk merespon bahan kimia. Perusahaan kimia menjualnya dalam bentuk satu paket.

Salah satu cara untuk mengurangi risiko gagal panen akibat serangan hama pada pertanian organik adalah menanam beberapa jenis tanaman sekaligus dalam satu lahan. Sistem multikultur ini mampu membantu menyehatkan lahan pertanian. Simak liputan kontradiksi organik di Majalah National Geographic Indonesia edisi Oktober 2014. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

 Akhirnya bisa kita lihat, pelan tapi pasti, sejumlah kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun harus terpinggirkan. Malah, nyaris terlupakan. “Akibat diganti dengan cara-cara yang katanya disebut sebagai pertanian modern, alat-alat tradisional macam, ani-ani makin susah untuk dijumpai.”

Melupakan peran ani-ani  itu sama saja dengan meminggirkan peran perempuan dalam kehidupan pertanian. Sebabnya jelas, yang bisa memakai ani-ani itu hanyalah perempuan. Mungkin bagi sebagian orang tak menjadi masalah, tapi justru dari situlah awal peminggiran peran kaum perempuan dalam pertanian. Ada sebuah ketidakadilan sosial yang telah terjadi.

Akibat semua keluhan tadi, sekelompok masyarakat mulai memunculkan pertanian organik ke berbagai belahan dunia. Adanya pertanian organik mereka berharap rantai bencana lingkungan tadi bisa diputus. Keinginan untuk mengembalikan keseimbangan alam pun dititipkan bersama kampanye pengelolaan ekologis tanpa “memperkosa” bumi ini. “Esensi pertanian organik kan sebetulnya kita tak pernah memperkosa bumi untuk menghasilkan produksi yang maksimal,” tegas Harry Surjadi, pegiat lingkungan, dalam diskusi yang sama.

Konsumen memilih sayuran organik di salah satu pasar modern di Jakarta Selatan, Senin (1/9). Budaya hidup sehat dengan mengonsumsi sayuran organik semakin marak belakangan ini terutama bagi masyarakat perkotaan. Ketiadaan bahan kimia menjadi salah satu faktor kenapa sayuran ini digemari meski harga jualnya lebih tinggi dari sayur hasil pertanian konvensional. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Sampai saat ini terdapat beragam definisi tentang pertanian organik. Supaya gampang, Tejo menyebutkan bahwa pertanian organik adalahg sistem pengelolaan ekologis yang mempromosikan dan meningkatkan siklus keragaman hayati dan aktivitas biologi di tanah. Sistem ini berdasarkan pada asupan minimal seminim mungkin dan pada parakteknya terjadi pengelolaan yang memperbaiki, memelihara dan meningkatkan keselarasan ekologis.

Sayangnya, pemerintah Indonesia hanya memandang pertanian organik dari segi peluang bisnisnya saja. Pada 2010, Kementerian Pertanian telah mencanangkan sebuah gerakan Go Organik 2010 untuk memperkenalkan para petani kepada sistem usaha pertanian organik.

“Pemerintah hanya melihat bahwa ada pasar di luar dan dalam negeri yang menuntut tersedianya produk-produk yang bebas pestisida. Padahal, sebetulnya yang disebut pertanian organik itu mencakup keseluruhan (pengelolaan secara ekologis) dan menjadi gaya hidup,” papar Tejo. Gaya hidup di sini artinya, sistem ini diterapkan untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri dalam sebuah areal tertentu. “Yang pentingkan prinsip-prinsipnya semuanya memakai sumber daya lokal, dari benih sampai kemampuan atau teknologi yang dimiliki oleh petani itu sendiri,” timpal Harry Surjadi.