“Biang keladinya adalah revolusi hijau,” begitu simpul Tejo Wahyu Jatmiko, direktur eksekutif Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (Konphalindo). Dari nada bicaranya, tampak sekali kalau Tejo amat gemas dengan revolusi hijau. Kekesalan itu terungkap ketika ia menjelaskan arti penting pertanian organik kepada sejumlah wartawan di Jagakarsa, “markas” Konphalindo.
Gara-gara revolusi hijau, lanjut Tejo, beragam masalah lingkungan, kesehatan dan sosial satu per satu bermunculan. Bersamaan dengan pemakaian bahan-bahan kimia secara besar-besaran dalam kehidupan manusia masalah itu tak bisa dianggap sebelah mata lagi.
Lewat dari dua dekade, sisi negatif dari revolusi hijau mulai tampak di seluruh dunia. Lihat saja bagaimana petani kecil harus selalu meminjam atau membeli benih – ataupun asupan kimia, yang acap kali varietas baru tak cocok dan jelek pertumbuhannya dalam kondisi lokal.
Saat harga panen anjlok, banyak keluarga petani dengan lahan menengah terperangkap dalam hutang. Pada saat yang sama, sejumlah besar petani kecil harus angkat kaki dari lahan pertaniannya.
“Pada saat yang sama, petani juga harus menghadapi masalah resistensi hama terhadap pestisida yang terus meningkat sampai akhirnya mereka mengabaikan seluruh hasil panen,” kata Tejo. Kejatuhan harga produk mereka ketika panen tiba diikuti pula dengan kepunahan keragaman hayati.
Dari situ, petani petani kemudian terhempas ke dalam lingkaran setan dengan memakai lebih banyak bahan kimia dan biaya produksi tinggi. Perusahaan kimia memberikan resep baru dan bak hanya mau memberikan instruksi agar petani dilatih oleh perusahaan kimia. Sebelum mereka sadar akan kebebasan yang direnggut, petani telah terperangkap dalam lingkaran setan itu, dan jarang ada yang sanggup meloloskan diri.
“Bukan cuma kebeban yang hilang, kemampuan alami petani dalam melakukan pemilihan benih yang baik juga ikut lenyap. Ini terjadi karena mereka mendapat benih drop-dropan yang disediakan perusahaan kimia,” ucap Tejo sambil tersenyum kecut. Benih-benih itu telah didesain untuk merespon bahan kimia. Perusahaan kimia menjualnya dalam bentuk satu paket.
Akhirnya bisa kita lihat, pelan tapi pasti, sejumlah kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun harus terpinggirkan. Malah, nyaris terlupakan. “Akibat diganti dengan cara-cara yang katanya disebut sebagai pertanian modern, alat-alat tradisional macam, ani-ani makin susah untuk dijumpai.”
Melupakan peran ani-ani itu sama saja dengan meminggirkan peran perempuan dalam kehidupan pertanian. Sebabnya jelas, yang bisa memakai ani-ani itu hanyalah perempuan. Mungkin bagi sebagian orang tak menjadi masalah, tapi justru dari situlah awal peminggiran peran kaum perempuan dalam pertanian. Ada sebuah ketidakadilan sosial yang telah terjadi.
Akibat semua keluhan tadi, sekelompok masyarakat mulai memunculkan pertanian organik ke berbagai belahan dunia. Adanya pertanian organik mereka berharap rantai bencana lingkungan tadi bisa diputus. Keinginan untuk mengembalikan keseimbangan alam pun dititipkan bersama kampanye pengelolaan ekologis tanpa “memperkosa” bumi ini. “Esensi pertanian organik kan sebetulnya kita tak pernah memperkosa bumi untuk menghasilkan produksi yang maksimal,” tegas Harry Surjadi, pegiat lingkungan, dalam diskusi yang sama.
Sampai saat ini terdapat beragam definisi tentang pertanian organik. Supaya gampang, Tejo menyebutkan bahwa pertanian organik adalahg sistem pengelolaan ekologis yang mempromosikan dan meningkatkan siklus keragaman hayati dan aktivitas biologi di tanah. Sistem ini berdasarkan pada asupan minimal seminim mungkin dan pada parakteknya terjadi pengelolaan yang memperbaiki, memelihara dan meningkatkan keselarasan ekologis.
Sayangnya, pemerintah Indonesia hanya memandang pertanian organik dari segi peluang bisnisnya saja. Pada 2010, Kementerian Pertanian telah mencanangkan sebuah gerakan Go Organik 2010 untuk memperkenalkan para petani kepada sistem usaha pertanian organik.
“Pemerintah hanya melihat bahwa ada pasar di luar dan dalam negeri yang menuntut tersedianya produk-produk yang bebas pestisida. Padahal, sebetulnya yang disebut pertanian organik itu mencakup keseluruhan (pengelolaan secara ekologis) dan menjadi gaya hidup,” papar Tejo. Gaya hidup di sini artinya, sistem ini diterapkan untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri dalam sebuah areal tertentu. “Yang pentingkan prinsip-prinsipnya semuanya memakai sumber daya lokal, dari benih sampai kemampuan atau teknologi yang dimiliki oleh petani itu sendiri,” timpal Harry Surjadi.
Kalau hanya dilihat sebagai bisnis belaka, Tejo dan Harry sama-sama mengkhawatirkan akan ada segelintir pengusaha yang bermain di sini. Ujung-ujungnya, petani kembali terjepit. Pemahaman sempit ini yang coba dibongkar. “Kita coba memasukkan ‘mata-mata’ dalam program Go Organik 2010 itu. Paling tidak, ini untuk melihat dan menjaga agar tak melenceng jauh tentang pemahaman tadi,” tutur Tejo.
Di beberapa tempat pertanian organik memang sudah dijalankan lewat Go Organik 2010 itu. Di Bogor sudah dijalankan oleh kelompok tani Mekar Tani, Kelurahan Sindang Barang, Kecamatan Bogor Barat pada komoditas padi di lahan 20 hektare. Lalu berikutnya di Kabupaten Bulukumba, Makassar. Lewat Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura saat ini mereka giat sekali mempopulerkan pertnaian organik.
Sayangnya, selain hanya lebih kepada kepentingan bisnisnya saja, pengertian organik yang dimiliki mereka baru sebatas pada meminimalkan peran bahan-bahan kimia dalam pengelolaan pertanian. Tidak salah memang, tetapi pengertian itu terasa kurang lengkap. “Untuk Bulukumba, penerapannya masih lebih unggul ketimbang Bogor. Mereka sudah memakai dan mengembangkan padi lokal, dan itu cukup bagus,” komentar Tejo menanggapi pelaksanaan pertanian organik di kedua daerah tadi.
Dari segi kesehatan produk-produk pertanian organik telah terbukti menurunkan kandungan kimia dalam tubuh anak. Ini didasarkan pada hasil studi yang dilakukan Universitas Washington, AS. Selain itu, produk ini mampu melawan kanker. Sebab tanaman akan memproduyksi flavonoid yang yakini sebagai pelindung tamanan dari serangan hama, bakteri, infeksi jamur dan foto oksidasi. Zat ini merupakan jenis yang sama untuk mencegah kanker dan penyakit jantung serta menghambat disfungsi neurologi berkaitan dengan penambahan usia.
Keluhan atas mahalnya harga produk-produk organik itu diakui oleh Tejo. Ini disebabkan sistem penjualan adalah fair trade, produsen dan konsumen sama-sama merasa diuntungkan. Petani dan penjual sama-sama menentukan harga. Selain itu, areal produksinya masih sangat terbatas dan waktu panen relatif lebih lama.
Untuk mengangkat pertanian organik, Tejo mengajak rekan-rekan lainnya untuk membuat kampanye yang high profile. “Karena berangkatnya dari kaum rohaniawan, pertanian organik memang menyebar secara low profile. Saya sebetulnya saya tak setuju dengan (model) ini, karena ancaman yang kita hadapi makin besar.”