Mempertaruhkan Hidup Demi Kelestarian Batik Tiga Negeri

By , Rabu, 17 Januari 2018 | 17:30 WIB

Sebagian besar pasangan muda yang telah memiliki kehidupan mapan, tentu enggan untuk kembali menetap di kampung halaman. Kehidupan perkotaan seakan mengekang mereka untuk tidak pergi berpaling.

Namun keengganan untuk meninggalkan perkotaan tidak sepenuhnya terjadi pada pasangan suami-istri Rudi Iswanto (36 tahun) dan Devina Dwi Atmaja (33 tahun).

Mereka rela meninggalkan pekerjaan di kota yang sudah menghidupi mereka selama ini.

Baca juga: Orangutan Tanpa Kepala Ditemukan Mengambang di Kalimantan

Walau sempat ragu, pada akhirnya mereka tetap memutuskan untuk menetap di kampung Babagan, kota Lasem, kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Seperti kisah klasik di Lasem, kaum muda pergi meninggalkan rumah untuk sekolah dan mencari pekerjaan. Hingga kemudian tak kembali lagi dan menetap di kota lain. Begitulah awal kisah Rudi dan dua kakak laki-lakinya yang meninggalkan Lasem untuk sekolah dan mengadu nasib di kota besar.

Djoeniati alias Tjan Djoen Nio pemiliki usaha batik Kidang Mas Lasem bersama sang cucu, Elisha Arvi Gunawan yang merupakan anak semata wayang Rudi Siswanto. Apakah kelak sang cucu akan melanjutkan usaha batik ayahnya? (Feri Latief)

Kehidupan berjalan seperti biasanya hingga pada suatu hari, tiga bersaudara ini diberi tawaran oleh orangtua untuk mengelola usaha batik keluarga.

Kedua kakak Rudi angkat tangan, namun tidak dengan Rudi, ia justru mengajukan diri untuk meneruskan usaha keluarga yang mencerminkan budaya Lasem ini.

Setelah memutuskan hal tersebut, kebimbangan pun muncul. "Bagaimana kehidupan keluarganya bila ia dan istri meninggalkan pekerjaan yang selama ini menghidupi mereka?", tutur Rudi. Rasanya berat bila ia dan istri harus mengundurkan diri dan tidak mendapat pesangon sementara saat itu anak mereka, Elisha Arvi Gunawan baru berusia 5 tahun.

“Saya pribadi perlu waktu satu tahun untuk berpikir. Hingga akhirnya pada awal Oktober 2013, saya ajukan pengunduran diri dari kantor. Sedih bercampur senang, alias pikiran saya tak karuan,” aku Rudi saat menceritakan peristiwa penting dalam hidupnya ini.

Tepat di penghujung tahun 2013, ia resmi mengundurkan diri dan mencemplungkan dirinya ke dalam dunia batik Lasem.

Mengurus Bisnis Batik Harus dari Hati

Rudi Siswanto sehari-hari membantu dalam proses produksi batik. Ia terjun ke dalam bisnis batik tanpa memiliki sedikitpun pengalaman. (Feri Latief)

Rudi dan istri yang sangat awam soal batik sempat berpikir bahwa bisnis batik adalah bisnis pada umumnya. Namun seiring berjalannya waktu, mereka dituntut untuk dapat memahami batik dari proses hingga cerita di balik warna dan pola.

Baca juga: "Berhenti Berteman" dengan Seseorang di Facebook pun Ada Waktunya

Tiga tahun adalah lamanya waktu yang mereka harus bayar untuk dapat memahami bisnis batik ini dengan baik.

Dalam tiga tahun tersebutlah Rudi menyadari bahwa bisnis batik tidak sama dengan bisnis lainnya. Kaderisasi sangat diperlukan dalam dunia batik. Tidak semua orang mampu menjadi pembatik yang baik.

Mereka pun melakukan kaderisasi terhadap anak-anak muda yang baru saja lulus sekolah. Tidak perlu mencari jauh-jauh, anak-anak tersebut adalah anak dari para pekerja di rumah batik Kidang Mas.

“Mengelola itu semua adalah hal yang rumit, jika dikerjakan tanpa hati. Sampai saat ini kami merasa bersyukur, kami masih bisa bertahan dan sudah berjalan sesuai jalurnya. Walaupun belum mencapai target 100%,” tutur Rudi.

Suasana bengkel kerja Batik Kidang Mas. Sebagian pembatik sudah bekerja puluhan tahun di sana. (Feri Latief)

Melestarikan Batik Tiga Negeri

Batik Tiga Negeri adalah batik perpaduan tiga daerah: Lasem, Pekalongan dan Solo. Tiga daerah ini pun memiliki warna masing-masing, yaitu Merah yang mewakili Lasem, Indigo mewakili Pekalongan, dan Sogan mewakili Solo.

Batik ini memiliki motif dan warna perpaduan tiga daerah penghasil batik; Lasem untuk warna merah, Pekalongan untuk warna indigo dan Solo untuk warna sogan. (Feri Latief)

Proses produksi yang rumit membuat batik ini menjadi kian langka. Bayangkan saja, proses pewarnaan harus dilakukan di tiga daerah yang berbeda tadi. Namun demi melestarikan batik yang langka diproduksi ini, proses tersebut sudah dihilangkan dan dikerjakan pada satu tempat saja.

Baca juga: Baterai "Ngedrop" Kini Dapat Dipulihkan

Kini ia mulai berpikir untuk  membuat pernak pernik dari batik, seperti dompet, tas, sandal dan sepatu. Namun keinginan ini mengalami sedikit hambatan karena terbatasnya tenaga kerja kreatif di Lasem. Walau demikian, bila kaderisasi yang telah dilakukan dapat berjalan dengan lancar, keinginan Rudi tentu dapat terwujud.

Seperti kata Rudi, untuk dapat bertahan dalam bisnis batik, kreatifitas dan "hati" sangat diperlukan. Bukan hanya sekadar untuk keperluan pemasaran, namun juga untuk menjaga keberlangsungan Batik Tiga Negeri.