Gempa Jakarta: Waspada Gempa Sunda Megathrust

By , Rabu, 24 Januari 2018 | 10:42 WIB

Ratusan orang bergegas turun dari Gedung Kompas Gramedia, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Mereka terkejut kala gempa dengan magnitudo 6,1 (berdasar data terakhir BMKG) mengguncang Jakarta pada Selasa (23/1/2018), pukul 13:34 tak lama setelah jam istirahat selesai.

Seorang karyawan mengatakan bahwa guncangan yang dirasakan sangat kencang. Karyawan lain pun mengamini hal tersebut.

Melalui laman resmi BMKG, pusat gempa berada di 91 km baratdaya Lebak, Banten, dengan kedalaman 61 km. Walaupun demikian, guncangan terkuat dirasakan oleh warga Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang Selatan, dan Garut.

Baca juga: Mungkinkah Gempa Aceh 2004 Terulang?

Peningkatan aktivitas zona tektonik

Gempa Banten yang terasa besar di Jakarta kemarin juga menandai aktivitas zona tektonik di selatan Jawa yang semakin meningkat. Hal ini ditegaskan oleh Irwan Meilano, ahli geodesi kebumian di Institut Teknologi Bandung (ITB) kepada Kompas.com pada Selasa (23/1/2018) lalu.

Peningkatan aktivitas ini mulai terdeteksi setelah gempa dengan magnitudo 7,8 (yang kemudian memicu tsunami di Pangandara pada 2006), gempa berkekuatan M 7,3 dan M 6,9 di selatan tasikmalaya pada 2009.

Irwan menambahkan bahwa ia dan peneliti lainnya belum mengetahui penyebab meningkatnya aktivitas kegempaan di Zona ini. Namun ia menduga bahwa ini bukanlah fenomena pelepasan energi untuk mengurangi risiko gempa besar pada zona Sunda Megathrust.

Danny Hilman Natawidjaya, ahli gempa bumi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), juga mengkhawatirkan makin aktifnya zona tektonik di selatan Jawa tersebut.

"Meskipun lokasi sumber gempanya berbeda-beda, kalau dari aspek mitigasi bencana, yang harus paling diperhitungkan yang Megathrust selatan Jawa," ungkap Danny.

Aktivitas zona tektonik ini juga menegaskan apa yang tercantum pada Peta Gempa Bumi Nasional 2017. Dalam peta tersebut disebut tentang potensi gempa berkekuatan M 8,7 yang mungkin terjadi di selatan Jawa Barat.

Namun, menurut kajian peneliti gempa ITB, jika segmen gempa selatan Jawa itu runtuh bersamaan, kekuatannya dapat mencapai M 9,2. Dengan kata lain, mungkin gempa tersebut setara dengan gempa Aceh pada 2004.

Danny menjelaskan, sekalipun data tentang potensi gempa besar di selatan Jawa makin banyak ditemukan, tapi belum bisa diprediksi kapan dan di mana gempa tersebut akan terjadi. Apalagi, hingga saat ini, sebagian besar zona kegempaan di Indonesia belum terpetakan dengan baik.

Gempa Sunda Megathrust

Zona tumbukan lempeng bumi di bawah laut Selat Sunda berpotensi gempa bumi hingga magnitude momen (Mw) 9. Gempa ini bisa memicu tsunami hingga lebih dari 20 meter di pesisir Banten dan Lampung.

Ancaman bagi Jakarta yang paling perlu diwaspadai adalah guncangan gempa.

Potensi gempa raksasa di zona subduksi (tumbukan lempeng) Selat Sunda itu disimpulkan dari keberadaan kosong gempa (seismic gap) sepanjang 350-550 kilometer (km). Zona kosong gempa itu sangat mungkin menyimpan potensi gempa raksasa karena energi dari gesekan dua lempeng bumi masih tersimpan.

"Kami belum menyimpulkan kapan keterulangan gempa di Selat Sunda karena masih minimnya data sejarah ataupun studi paleotsunami di selatan Jawa."

"Dengan membuat estimasi lebar dan slip-nya dikalikan panjang seismic gap itu, kami perkirakan potensi kekuatan gempanya dan ketemu sekitar Mw 9," kata peneliti tsunami pada Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Widjo Kongko, Senin (31/3/2014), di Jakarta.

Peneliti gempa bumi dari Pusat Penelitian Geo Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bandung, Eko Yulianto, mengatakan potensi gempa raksasa di Selat Sunda menjadi pengetahuan umum peneliti. "Setelah gempa Aceh 2004 dan Sendai 2011, kalangan ilmuwan meyakini bahwa gempa dan tsunami raksasa bisa terjadi di seluruh zona subduksi di mana pun," kata dia.

Di Indonesia, potensi gempa besar bisa di zona subduksi Mentawai, Selat Sunda, selatan Bali, Flores, hingga sekitar Ambon dan Papua. Eko pernah meneliti endapan tanah di sekitar Sungai Cikembulan, Pangandaran, Jawa Barat, untuk mencari jejak tsunami masa lalu. Ditemukan jejak tsunami besar 400 tahun lalu. "Data ini harus dikonfirmasi dengan pengeboran," kata dia.

Skenario terburuk

Meski belum ada data rinci kapan periodisasi gempa di Selat Sunda, kata Widjo Kongko, harus disiapkan skenario terburuk. Ia mengkaji dan membuat model dampak gempa dan tsunami berkekuatan Mw 9 yang berpusat di Selat Sunda.

Hasilnya, Jakarta yang berjarak 200-250 km dari pusat gempa berpotensi berguncang keras beberapa menit. "Intensitas yang dirasakan di Jakarta bisa sangat kuat. Bisa menimbulkan kerusakan bangunan," ujar dia.

Jakarta berada di atas tanah endapan atau aluvial yang karakteristiknya menambah amplifikasi guncangan. "Studi mikrozonasi sangat penting untuk tahu dampak gempa ini," kata dia.

Hal senada juga dikatakan oleh Danny Hilman Natawidjaya, ahli gempa bumi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kepada Kompas.com pada Selasa (23/1/2018). "Jakarta yang relatif jauh dari zona selatan Jawa ternyata juga terguncang kuat. Ini salah satunya dipicu oleh kondisi tanahnya yang lunak dangen batuan dasar yang sangat dalam sehingga memperkuat dampak guncangan gempa," ujar Danny.

Baca juga: Wabah Mematikan yang Terjadi di Abad ke-14 Bukan Disebabkan Oleh Tikus

Guncangan terkeras akan dirasakan di sekitar Banten dan Lampung dengan potensi tsunami. "Jika gempa sebesar ini terjadi di daerah dangkal dekat palung, tsunami di daerah sumber, puncaknya bisa 10-15 meter," ungkap dia. Tsunami itu bisa tiba di pantai utara Jakarta dengan ketinggian 5 meter.

Kajian empiris di sejumlah tempat, kata Widjo, ketinggian tsunami 5 meter di pantai landai, landaan ke daratannya bisa beberapa kilometer, tetapi tidak lebih dari 5 km. "Kurang tepat kalau tsunami di Jakarta menjalar dari pantai selatan dan bisa hingga kawasan Sudirman," ujar dia.

Setiap pembangunan infrastruktur di kawasan itu perlu memperhitungkan potensi gempa dan tsunami, seperti rencana Jembatan Selat Sunda dan Tembok Laut Raksasa Teluk Jakarta. "Di rencana tapak Jembatan Selat Sunda, tinggi tsunami bisa 10 meter pada kedalaman 30 meter. Bisa menggerus dasar laut sekitar fondasi jembatan," ucap Widjo.

Eko mengatakan, untuk kota Jakarta, yang perlu lebih diwaspadai dampak guncangan terhadap bangunan. Oleh karena itu, bangunan dengan spesifikasi tahan gempa adalah hal yang mutlak.

Berita hoax dapat dengan mudah tersebar karena "dukungan" teknologi yang semakin berkembang. (Thinkstock)

Waspada hoax

Kewaspadaan adalah hal yang penting dalam hidup. Namun kewaspadaan seringkali juga menjadi kelemahan seseorang dalam kondisi tertentu.

Bencana alam menjadi salah satu hal yang membuat kewaspadaan kita seakan kuat di luar tapi lemah di dalam. Berbagai kabar yang tersebar melalui aplikasi percakapan dengan mudah dipercaya dan disebarkan kepada orang lain tanpa melakukan pengecekan kebenaran kabar tersebut.

Pada tahun 2017, BMKG melakukan respons terhadap info yang beredar bahwa akan terjadi gempa besar dan tsunami di akhir tahun 2017. Saat itu, hoax gempa dan tsunami besar sudah terlanjur tersebar dan membuat takut banyak orang.

Baca juga: Setelah 500 Tahun, Misteri Kepunahan Suku Aztec Terpecahkan

Salah satu poin penting yang dikeluarkan oleh BMKG adalah bahwa belum ada teknologi yang mampu melakukan prediksi gempa bumi dengan tepat (kapan, di mana, dan berapa besar kekuatannya). Bila terdapat informasi yang mengatakan akan terjadi gempa bumi pada waktu, tempat dan besaran yang presisi, kita perlu curiga kebenaran berita tersebut.

(Sumber: Kompas.com, BMKG, dan National Geographic Indonesia)