Berkah dan Keberuntungan Dari Kuil China Tertua di Australia

By , Senin, 12 Maret 2018 | 12:00 WIB

Kuil Joss House di Bendigo, Victoria dibangun untuk melindungi para penambang asal China, dan hampir 150 tahun kemudian masih digunakan sebagai tempat pemujaan.

Orang sering mengunjungi kuil ini karena termotivasi oleh kebutuhan akan perubahan.

Beberapa memohon kekayaan, beberapa memohon anak-anak, sementara yang lain untuk menghormati nenek moyang mereka atau menyampaikan rasa syukur, dan pada Tahun Baru Imlek jumlahnya membengkak.

(Baca juga: Bayanihan, Semangat Gotong Royong Ala Penduduk Filipina)

Penyelia di kuil Joss House, Darren Wright menggambarkan kuil tersebut sebagai gereja atau kapel Cina.

Tidak seperti pertemuan gereja biasa, orang-orang hadir berdasarkan kebutuhan.

"Ini tidak seperti gereja barat di mana semua orang muncul pada hari Minggu pagi," kata Wright.

Tidak sesuai dengan agama manapun, kuil suci tersebut mencerminkan banyak aliran agama Tionghoa yang didasarkan pada tiga filosofi yang berbeda - Tao, Konghucu, dan Budha.

"Kita berbicara tentang sistem budaya pemujaan dan doa yang kembali ke sini, dalam beberapa kasus, lebih dari 2.500 tahun," kata Wright.

Joss House yang terdaftar sebagai warisan cagar budaya ini, yang memiliki tiga ruangan kecil ini, dianggap sebagai bagian penting dari sejarah China di Bendigo, dan ini adalah salah satu dari sedikit bangunan yang tersisa dari jenisnya di Australia.

Setelah dahulu pernah dianggap sebagai sarang dari perbuatan asusila, Wright mengatakan ada banyak mitos tentang kuil tersebut, termasuk menjadi tempat perjudian dan candu.

'Ada sejarah ke tempat ini'

Bagi warga Bendigo, Dennis O'Hoy, kuil ini memiliki sejarah panjang sejak tahun 1860 ketika kakeknya tiba di lokasi penambangan emas di Bendigo ini sebagai pedagang.

Mantan akademisi dan relawan di Bendigo Joss House, Dennis O'Hoy, di altar utama. (Larissa Romensky)

Keluarganya tetap menjadi salah satu dari sedikit warga yang tinggal di Bendigo setelah kebijakan Australia Putih tahun 1901 dan adanya Undang-Undang Pembatasan Imigrasi, yang membatasi migrasi non-Inggris ke Australia.

Lahir dari latar belakang penganut Budha dan Konghucu dan dikirim ke sekolah Anglikan, O'Hoy, secara teratur sering mengunjungi Joss House.

Tujuannya datang adalah untuk melestarikan masa lalu, walau dia juga merasakan ketenangan dan kedamaian ketika berada di sana.

"Hanya dengan menyentuh tembok bata [di kuil ini] kita merasakan adanya sejarah di tempat ini," kata O'Hoy.

Simbol persaudaraan, perlindungan dan perdagangan

Dibangun pada tahun 1870-an, Kuil Joss House di Bendigo ini pernah menjadi bagian dari kamp penambang emas dari warga China bernama Ironbark.

"Mereka dipandang sebagai pesaing dan pemerintah pada dasarnya memisahkan mereka dari anggota masyarakat lainnya dengan memasukkan mereka ke dalam kamp," kata Wright.

Dia mengatakan bahwa Joss House dibangun karena kebutuhan untuk perlindungan terhadap diskriminasi, dimana orang-orang China membutuhkan dewa yang akan merawat mereka.

Kuil yang terbuat dari batu bata buatan tangan warga setempat itu didedikasikan untuk dewa Guan-Di, dewa perang dan kemakmuran, yang juga dikenal untuk membawa perdamaian dan keadilan ke China.

"Guan-Di adalah simbol persaudaraan, perlindungan dan perdagangan," kata Wright.

Keberuntungan berubah setelah berkunjung

Beberapa tahun yang lalu, seorang ahli bedah di Bendigo Manny Cao merasa putus asa, namun setelah berkunjung ke kuil, keberuntungannya berubah.

Banyak dari proyek keuangannya mengalami kesulitan, jadi atas saran seorang teman, Cao mennyampaikan beberapa permintaan ketika berdoa dan saat berkendara pulang dia menerima telepon dari ayahnya tentang keberhasilan penjualan rumahnya.

Altar utama berisi seperangkat logam suci berjumlah lima buah, yang mewakili lima permata surga Budha. (Larissa Romensky)

Sejak saat itu banyak anggota keluarganya telah mengunjungi kuil ini dan mengalami nasib baik.

Pengungsi yang tiba dengan kapal di Australia pada usia dua tahun ini tidak dibesarkan dalam rumah tangga yang religius - orang tuanya dari Vietnam mempraktikkan filsafat Konfusianisme, dengan penekanan pada pemujaan leluhur.

"Saya percaya pada filosofi dalam hidup, bukan berarti agama. Ada baiknya memiliki semacam kepercayaan," kata Cao.

Kunjungannya setiap  enam pekan sekali ke kuil ini bukan hanya untuk mengamankan nasib baik, tapi juga untuk mengucapkan rasa syukur.

"Hanya untuk berterima kasih kepada para dewa di atas karena memberi saya apa yang saya punya," katanya.

'Ajaib apa pun yang kita minta terjadi'

Wendy Tang dan suaminya Michael Lau telah berusaha mendapatkan keturunan dalam pernikahan mereka.

Ia berjalan memasuki bait suci menuju ke Ruang Leluhur, yang didedikasikan untuk mengenang nenek moyang, Wendy Tang berlutut di altar yang didedikasikan untuk Guan Yin, dewi welas asih dan belas kasihan China, dan meminta seorang anak.

Dua minggu kemudian pengembang bisnis keturunan Vietnam China  ini hamil.

"Sejak saat itu ketika kami meminta sesuatu atau jika seseorang tidak sehat, kami pergi dan berkunjung dan ini memberi kami rasa tujuan," kata Wendy Tang.

"Entah bagaimana secara ajaib apapun yang kita minta akan terjadi."

Itu adalah hubungan spiritual dengan kuil suci melalui nenek moyang yang paling bergema.

"Kuil ini telah diberkati oleh orang-orang sebelum kita, orang-orang itu juga migran ... saya hanya mengikuti langkah-langkah itu," kata Wendy Tang.

Dulunya dia mengira tempat ini hanyalah gudang kecil, Wendy Tang dan keluarganya sekarang melakukan kunjungan dari Melbourne sekitar lima kali dalam setahun.

Setiap kali mereka membawa buah sebagai hadiah penghormatan, membersihkan piring terlebih dahulu dan membuat teh sebelum mengunjungi setiap altar di kuil tempat mereka mempersembahkan bawaan mereka.

Pada hari pertama tahun baru bersama keluarganya, termasuk anak perempuannya yang berusia lima tahun, Wendy Tang akan meminta anak kedua.

'Meja makan' di altar

Sementara beberapa orang senang membawa buah, permen, kemenyan dan bahkan sebotol bir, satu keluarga pernah membawa seekor babi panggang utuh sebagai persembahan kepada para dewa.

"Itu semua untuk para dewa - dewa mendapatkan makanan dari apa yang orang bawa," kata Wright.

Orang membawa hadiah kepada para dewa berupa makanan, minuman dan dupa. (Larissa Romensky)

"Sebuah altar di kuil Cina seperti meja makan untuk kekuatan yang ada."

Ketika mahasiswa ilmu kesehatan Xiaoyu Liu, dari Bendigo, mengunjungi kuil tersebut untuk pertama kalinya bersama keluarganya, dia membawa dupa.

(Baca juga: Mantan Agen Ganda Rusia Kritis Setelah Terpapar Zat Tak Dikenal, Percobaan Pembunuhan?)

Dia meminta para dewa untuk mengurus keluarganya, berdoa untuk kekayaan dan keamanan mereka.

Terharu oleh nostalgia, aroma dupa mengingatkan gadis berusia 20 tahun itu pada kuildi  masa kecilnya di China.

"Itu aroma yang selalu saya cium," kata Liu.

Meski mahasiswa yang berbasis di Melbourne ini tidak religius, dia berencana untuk berkunjung lebih sering.

Artikel ini pernah tayang di australiaplus.com. Baca artikel sumber