Mengukur Radiasi Bencana Nuklir Fukushima Setelah Tujuh Tahun

By , Senin, 12 Maret 2018 | 14:00 WIB

Di bawah atap kuil Seirinji di Fukushima, Jepang, tergantung hiasan yang tidak biasa: yakni, sebuah penghitung Geiger untuk membaca efek radiasi nuklir secara real time.

Mesin tersebut nantinya akan mengirimkan data ke Safecast, sebuah lembaga nonprofit yang didirikan pada 2011 setelah bencana nuklir Fukushima. Safecast mengatakan, saat ini mereka telah membangun dataset radiasi terbesar di dunia.

Itu semua berkat usaha dari ‘ilmuwan lokal’ Sadamaru Okano yang juga merupakan biksu kuil Seirinji.

(Baca juga: Mineral Langka Ini Berhasil Ditemukan Pada Berlian Jauh di Bawah Permukaan Bumi)

Sama seperti warga Jepang lainnya, Okano kehilangan kepercayaan kepada pemerintah setelah hancurnya nuklir tujuh tahun yang lalu.

“Pemerintah tidak memberi tahu kami yang sebenarnya. Mereka tidak mengatakan seberapa bahayanya radiasi,” kata Okano kepada AFP, saat ditemui di kuil berusia 150 tahun tersebut.

Okano memiliki alasan mengapa dia meragukan pemerintah. Ia telah mengembangkan minat terhadap teknologi nuklir sejak dua dekade lalu, setelah mengetahui tentang bencana Chernobyl.

Pada 2007, Okano mulai mengukur tingkat radiasi Fukushima. Jadi, ketika bencana nuklir terjadi pada 2011, ia mengetahui data dasarnya.

“Jumlahnya cukup tinggi. Lima puluh kali lebih tinggi dari radiasi alami,” kata Okano mengenai data pascabencana.

“Saya sangat terkejut. Berita yang beredar mengindikasikan bahwa bencana itu bukan apa-apa. Pemerintah mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” tambahnya.

Penghitung Geiger yang dioperasikan oleh Safecast terpasang di pagar dekat reaktor nuklir Dai-chi, Fukushima. (Behrouz Mehri/AFP)

Langkanya informasi yang bisa dipercaya itulah yang memotivasi Safecast. Pieter Franken, pendiri Safecast, memiliki ide untuk mengumpulkan data dengan memasang penghitung Geiger ke mobil lalu berkeliling.

“Mirip dengan Google Street View, kami bisa melakukan sesuatu untuk radiasi dengan cara yang sama,” kata Pieter yang sedang berada di Tokyo bersama keluarganya saat bencana nuklir terjadi.

“Satu-satunya masalah adalah sistemnya tidak ada. Untuk mengatasi masalah tersebut, kami harus membangunnya sendiri dan itulah yang sedang dilakukan,” tambahnya.

Menyediakan pilihan informasi

Dalam seminggu, tim Safecast memiliki prototipenya dan mulai melakukan pembacaan. Mereka mengumumkan adanya ‘zona pengecualian’ yang terletak 20 kilometer di sekitar pabrik Fukushima.

Menurut Franken, beberapa pengungsi dipindahkan dari lokasi dengan radiasi rendah ke yang lebih tinggi. Meskipun zona tersebut telah diatur ulang, namun bagi warga setempat, sudah terlambat untuk mengembalikan kepercayaan kepada pemerintah.

Okano mengevakuasi ibu, istri, dan anak laki-lakinya, sementara ia tetap tinggal di sana bersama dengan teman-temannya. Setahun kemudian, setelah membaca data radiasinya sendiri dan upaya dekontaminasi, Okano membawa keluarganya pulang.

Ia mempelajari tentang rencana yang dilakukan Safecast. Pada 2013, Okano memasang Geiger di salah satu sudut kuilnya sebagai cara untuk menenangkan warga.

“Saya bilang kepada mereka: kami mengukur radiasi setiap hari. Jadi, bisa tahu apakah kita aman atau tidak,” cerita Okano.

Koriyama

Empat puluh kilometer dari sana, di kota Koriyama, Norio Watanabe mengawasi murid-murid remajanya yang berusaha membuat versi dasar penghitung Geiger.

Dengan mengenakan blazer dan rok tartan, murid-murid itu mengikuti instruksi di mana harus menempatkan kabel-kabel dan dioda.

Dua siswi mengecek aplikasi yang terhubung dengan pengukur Geiger untuk mengukur radiasi di kelasnya. (Behrouz Mehri/AFP)

Watanabe sendiri sudah menjadi relawan Safecast sejak 2011. Ia pun memiliki penghitung Geiger di mobilnya.

Beberapa hari setelah bencana nuklir, para pengungsi berbondong-bondong menuju ke Koriyama yang tidak termasuk wilayah evakuasi. Melihat hal itu, Watanabe berpikir kotanya cukup aman.

Namun ternyata, setelah dirinya melakukan pengukuran, ancaman radiasinya cukup tinggi. Watanabe menjauhkan anaknya dari Koriyama. Ia tetap tinggal di sana karena ingin menjaga ibunya.

Pada 2015, Watanabe didiagnosis mengidap kanker tiroid dan ia yakin radiasi lah penyebabnya.

“Sebagai ilmuwan, potensi kanker disebabkan oleh bencana nuklir Fukushima mungkin 50-50. Namun, di hati yang paling dalam, saya yakin radiasi penyebab utama kanker tiroid saya,” papar Watanabe.

Ia berhasil selamat dari kanker dan saat ini dalam keadaan sehat. Namun, Watanabe khawatir dengan murid-muridnya yang mungkin juga terkena dampak radiasi. “Jika tidak ada orang-orang seperti kami yang terus mengukur radiasi, bahayanya mungkin akan terlupakan,” katanya.

Tiga ribu perangkat

Safecast telah memiliki 3000 perangkat Geiger saat ini dan berhasil mengumpulkan data dari 90 negara. Alatnya tersedia dalam satu paket sehingga para relawan bisa membelinya dari orang ketiga, lalu merakitnya sendiri di rumah. Jika ada keganjilan, pihak Safecast akan memeriksanya.

Data radiasinya terbuka untuk umum dan digunakan untuk mempelajari segala hal. Mulai dari punahnya satwa liar hingga bagaimana orang-orang bergerak di sekitar kota. Franken mengatakan, data Safecast merupakan pelengkap dari pengukuran resmi. Namun, hasil pembacaannya lebih relevan dengan kehidupan masyarakat.

(Baca juga: Kamera Generasi Mendatang Bisa Menembus Tembok)

Ia yakin, Safecast membantu menyadarkan pemerintah Jepang  mengenai pentingnya transparasi dan keterbukaan untuk menciptakan kepercayaan masyarakat.

“Ini membuktikan bahwa penduduk pun bisa jadi ilmuwan. Anda tidak bisa mencegah atau mengabaikannya. Para relawan kami memutuskan untuk mengukur sendiri tingkat radiasi di sekitar sekolah, tempat kerja, dan rumah mereka,” papar Franken.

Lembaga nonprofit ini sedang mengembangkan teknologinya sehingga diharapkan bisa mengukur tingkat polusi udara.