Es Laut Kutub Utara Berada di Rekor Terendah Kedua

By , Selasa, 27 Maret 2018 | 11:00 WIB

Suhu yang sangat hangat mendorong es laut Arktik ke ketinggian 5,6 juta mil persegi pada musim dingin ini—salah satu yang terendah dalam catatan, menurut evaluasi tahunan yang dirilis Jumat, 23 Maret 2018, oleh NASA.

Namun meskipun ada sedikit lebih banyak es di seluruh lintang utara di musim dingin ini daripada tahun 2011 lalu yang menjadi rekor terendah, para ilmuwan melihat beberapa gejala yang mengganggu selama musim dingin 2017-2018.

Selama bulan Februari, suhu melonjak ke musim dingin yang liar, yaitu lebih 45 derajat di atas normal di beberapa daerah, membuat kutub utara—di tengah musim dingin, ketika wilayah tersebut diselimuti kegelapan—berada di atas titik beku selama beberapa hari.

Artikel terkait: Kutub Utara Sudah Tidak di Tempatnya

Bagian-bagian besar Greenland, yang biasanya diselimuti es tebal dan tua, memiliki es yang mencair untuk pertama kalinya dalam catatan. Sebagian besar Laut Bering di lepas pantai Alaska dan seluruh Selat Bering juga bebas dari es, "Ini sangat luar biasa," kata ahli es laut NASA, Alek Petty.

Meskipun tidak memecahkan rekor tahun sebelumnya, gejala yang ditemukan di musim dingin ini bisa menjadi lebih buruk dari yang diperkirakan para ilmuwan. "Beberapa musim dingin terakhir ini telah berada di atas proyeksi kami untuk prediksi suhu udara dan penurunan es laut," kata Petty.

Kerentanan Arktik

Sementara perubahan iklim menghangatkan bumi, hal tersebut justru semakin “menghancurkan” kutub lebih keras. Dan ketika suhu yang meningkat mendorong hilangnya es laut, hal itulah yang akan membuat situasi semakin buruk.

Baca juga: 3 Fakta Penting Seputar Isu Cacing di Sarden Kalengan yang Wajib Anda Ketahui

"Ini adalah jalan dua arah," Claire Parkinson, ilmuwan iklim senior di Goddard Space Flight Center NASA mengatakan dalam pengumuman agensi tersebut. "Pemanasan berarti semakin sedikit es akan terbentuk dan lebih banyak es akan mencair. Juga, karena ada lebih sedikit es, pantulan radiasi matahari akan semakin berkurang, dan ini berkontribusi pada pemanasan," jelasnya.

Bahkan, sepanjang musim dingin ini, Arktik mengalami periode terburuknya. Satu-satunya alasan musim dingin ini akhirnya tidak memecahkan rekor untuk es laut terendah adalah karena udara dingin dalam beberapa minggu terakhir memungkinkan es untuk direformasi. Peningkatan di dekat Jepang, di Laut Okhotsk, cukup signifikan untuk mengganti es yang mencair di tempat lain.

Cuaca Badai

Apa yang terjadi pada musim dingin ini adalah badai dari Atlantik dan Pasifik yang mengirimkan air hangat dan angin ke utara. Yang menjadi masalah adalah bahwa lautan itu lebih hangat daripada sebelumnya. Selain itu, seiring berjalannya waktu, Arktik telah kehilangan lebih banyak es yang lebih tebal dan lebih tua yang menstabilkan seluruh wilayah. Itu berarti, kehangatan dari badai yang menghantam wilayah Arktik membuat lebih banyak kerusakan, menyebabkan es mencair lebih banyak lagi.

Misalnya, lubang besar di es yang terbuka di atas Greenland tertutup agak cepat setelah panas mereda. Namun, para pejabat NASA mengatakan es baru itu lebih tipis dan kurang stabil, dan lebih rentan terhadap apa pun jika dihantam lagi oleh suhu hangat.

Artikel terkait: Es Kutub Utara Mencair, Mamalia Hadapi Tantangan Baru

"Kami baru saja melihat beberapa hal di masa lalu dan mampu menunjukkan bahwa periode hangat yang ekstrem telah terjadi sebelumnya di Arktik, bahkan 100 tahun lalu," kata Petty. "Namun, apa yang kami lihat adalah bahwa ada peningkatan frekuensi insiden ini; periode ini berlangsung lebih lama, dan dampaknya terhadap es laut bahkan lebih besar. Badai hanya menggerogoti es laut lebih dari biasanya," ungkap Pretty.

Kuncinya, tentu saja, adalah bahwa semua penurunan es ini memiliki dampak yang tak terukur pada dunia—meningkatkan panas dan kelembaban di atmosfer, mengubah pencampuran dan sirkulasi laut Arktik, mempengaruhi apa dan di mana benda-benda hidup, bahkan mengubah sistem iklim global. Pergeseran ini hanya akan menjadi lebih buruk, kecuali manusia secara dramatis mengurangi emisi karbon dioksida dari pembakaran batu bara, minyak, dan gas.

"Perubahan hanya akan menjadi lebih parah," kata Petty.